KOMPAS.com - Polusi udara di wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) saat ini kian parah.
Terkait hal itu, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa ( PKB) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) mempertanyakan hasil program perlindungan lingkungan yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah.
Ketua Fraksi PKB DPR RI Cucun Ahmad Sjamsurijal mengatakan, polusi parah yang saat ini dirasakan di Jabodetabek merupakan dampak nyata dari perubahan iklim.
“Sementara itu, program perlindungan lingkungan, termasuk penanggulangan iklim ini telah gencar dilakukan lebih dari 10 tahun lalu. Jadi bagaimana pertanggungjawaban kementerian atau lembaga (K/L) yang mengurusi persoalan ini,” ujarnya, Selasa (29/8/2023).
Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR itu pun meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit khusus terhadap anggaran penanggulangan dampak perubahan iklim yang ada di berbagai K/L.
Baca juga: Ditunjuk Presiden untuk Tangani Polusi, Luhut: War Againts Polution
Cucun menyebutkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk perlindungan lingkungan hidup dari tahun ke tahun relatif besar.
"Pada 2019, alokasi untuk program tersebut mencapai Rp 16,1 triliun, kemudian menjadi Rp 13 triliun pada 2020, Rp 14 triliun pada 2021, 12,8 triliun pada 2022, dan Rp 13,9 triliun pada 2023," tuturnya.
Dia mengatakan, upaya penanggulangan iklim ini menjadi perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebab, setiap tahun pemerintah selalu menganggarkan dana untuk membiayai program tersebut di kementerian atau lembaga negara.
“Tetapi, faktanya kita masih mengalami polusi udara dengan derajat keparahan luar biasa, maka perlu ada audit khusus dari BPK,” ujarnya dalam siaran pers, Selasa.
Untuk diketahui, berdasarkan data IQAir per Senin (28/8/2023) pukul 11:00 Waktu Indonesia Barat (WIB), kualitas udara Jakarta berada di level tidak sehat.
Baca juga: 11 Perusahaan Kena Sanksi Terkait Polusi Udara, Menperin: Kita Sedang Cek dari Manufaktur atau Bukan
Indeks kualitas udara AQI US menunjukkan nilai 167 dengan polutan utama masih berkutat pada particulate matter (PM2.5) yang konsentrasinya mencapai 71.8 mikrometer per meter kubik (µm/m3).
PM2.5 merupakan partikel kecil berbahaya yang dapat menyebabkan berbagai gangguan pernapasan. Konsentrasi PM2.5 di udara Jakarta merupakan 14.4 kali nilai panduan kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Udara panas, kebakaran, dan polusi lingkungan diduga kuat menjadi pemicu buruknya kualitas udara di Jakarta sekitarnya.
Cucun mengatakan, buruknya kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya mempunyai dampak serius bagi kesehatan masyarakat.
Berdasarkan data WHO, material dalam polutan PM 2,5 bisa memicu berbagai gangguan infeksi saluran pernapasan, kanker paru, kardiovaskular, hingga kematian dini.
Baca juga: Polusi Udara di Jakarta Semakin Parah, Heru Budi Dituntut Minta Maaf secara Terbuka
Untuk itu, Cucun menegaskan, situasi yang saat ini terjadi di Jakarta dan sekitarnya tidak bisa disepelekan.
“Kondisi ini jika tidak ditangani serius akan juga terjadi di kota-kota besar lain di Indonesia,” katanya.
Legislator dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Barat (Jabar) II itu pun mendesak pemerintah merealisasikan komitmen dari negara-negara Group of Twenty (G20) terkait program Just Energy Transition Partnership (JETP) yang akan mengubah pembangkit listrik berbahan fosil ke energi terbarukan.
Negara G20 berkomitmen mengalokasikan 20 juta dollar Amerika Serikat (AS) melalui berbagai skema.
“Salah satu pemicu polusi di Jakarta adalah adanya pembangkit listrik berbahan fosil. Jika JETP bisa direalisasikan, ini akan sangat mengurangi polusi dan dampak perubahan iklim di tanah air,” terangnya.
Baca juga: Kata KTB Soal Kendaraan yang Dianggap Jadi Penyebab Polusi Udara