KOMPAS.com — Ketua Gerakan Nasional Anti Miras (Genam) Fahira Idris mengatakan bahwa diperlukan pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol (LMB) yang mencakup produksi, distribusi, dan konsumsi minuman keras ( miras) di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/10/2024).
Pernyataan tersebut merupakan buntut dari seruan “ Jogja Darurat Miras” di Provinsi Yogyakarta, dimana peredaran miras di wilayah tersebut kian meresahkan.
Terlebih, saat terjadi kasus santri Pondok Pesantren Fatimiyah Al Munnawir, Krapyak yang menjadi korban penusukan oleh sekelompok pemuda yang diduga dalam kondisi mabuk miras, Rabu (23/10/2024).
Fahira menambahkan bahwa selama belum ada RUU LMB yang mengatur, persoalan miras akan terus menjadi penyakit sosial di Indonesia.
“Untuk konteks Indonesia, persoalan miras ini bisa dikatakan paradoks. Kita semua sepakat bahwa miras adalah penyakit sosial, tetapi walau sudah merdeka 79 tahun, Indonesia tidak punya UU untuk mengaturnya,” katanya dalam keterangan tertulis, Rabu.
UU LMB, lanjut dia, perlu disahkan mengingat pembahasan RUU LMB antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah berjalan selama 15 tahun.
“Berkali-kali RUU Miras masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tetapi berkali-kali juga gagal disahkan menjadi sebuah UU,” imbuh Fahira.
Baca juga: Fahira Idris Usulkan Rekomendasi Kunci untuk Efektivitas Kabinet Merah Putih
Selain itu, Fahira juga menjelaskan bahwa RUU LMB sudah banyak diatur di beberapa negara yang melegalkan tradisi minum alkohol dikarenakan adanya dampak buruk bagi sosial dan kesehatan.
“Kesadaran ini melahirkan konsensus bahwa semua pelanggaran terkait miras, sanksinya harus menjerakan agar pelanggaran tidak berulang dan bisa ditekan seminimal mungkin,” jelasnya.
Adapun, selama tidak adanya UU yang mengatur segala aktivitas miras di Indonesia, maka pelanggaran akan rawan terjadi tanpa adanya sanksi yang dibebankan kepada pelaku.
“Aturan soal miras yang ada saat ini mulai peraturan presiden (perpres) dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag), tidak memungkinkan memberi sanksi pidana, dalam Peraturan Daerah (Perda) Miras, maksimal sanksi pidana hanya enam bulan kurungan atau denda, ” papar Fahira.
Sebagai tambahan informasi, pembahasan RUU LMB di DPR sudah berjalan hampir 15 tahun dan selalu masuk dalam Prolegnas.
RUU LMB ini sudah mulai dibahas sejak DPR periode 2009-2014, kemudian dilanjutkan periode 2014-2019, dan 2019-2024. Hingga 2024, RUU LMB juga kembali masuk Prolegnas.