KOMPAS.com - Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya (UB) Malang Hendi Subandi mengatakan bahwa penggabungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC), yang melibatkan aspek nonteknis dalam pendirian badan penerimaan pajak, merupakan suatu bentuk komitmen politik.
Meski demikian, ia berpesan agar kebijakan tersebut tidak merugikan reputasi kementerian terkait.
"Karena isu pajak ini selalu sensitif, maka harus ada keputusan politik yang tepat sehingga pendapatan negara bisa meningkat," ucap Hendi dalam pernyataan pers yang diterima Kompas.com, Kamis (28/12/2023).
Hal tersebut disampaikan Hendi sebagai tanggapan akan mencuatnya isu pembentukan badan penerimaan negara yang diungkapkan oleh calon wakil presiden (cawapres) nomor urut dua, Gibran Rakabuming Raka dalam Debat Cawapres, Jumat (22/12/2023).
Baca juga: TKN Sebut Gibran Paham Cara Atasi Masalah Pendidikan dan Ketenagakerjaan di Indonesia
Dalam acara tersebut, Gibran menjanjikan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) akan digabung menjadi badan penerimaan negara, apabila Prabowo Subianto dan dirinya kelak memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Gagasan ini dinilai memiliki potensi untuk meningkatkan pendapatan negara.
Lebih lanjut, Gibran menjelaskan bahwa dengan penggabungan kedua lembaga tersebut, fokusnya akan berubah menjadi penerimaan negara semata dan tidak lagi terlibat dalam pengeluaran negara.
"Kami bentuk badan penerimaan pajak (yang langsung) dikomandoi oleh presiden dan dikoordinasi oleh kementerian terkait. Jadi DJP dan bea cukai akan dilebur jadi satu, sehingga (hanya) berfokus pada penerimaan negara saja," ucap Gibran.
Pada kesempatan tersebut, Hendi menyatakan bahwa rencana Gibran untuk menggabungkan DJP dan DJBC bukanlah sesuatu yang baru.
Baca juga: Gibran Janji Lebur DJP dan Bea Cukai Jadi Badan Penerimaan Negara
Ia mengungkapkan bahwa rencana untuk menjadikan DJP sebagai badan otonom langsung di bawah presiden sudah pernah menjadi pembahasan beberapa tahun sebelumnya.
Musababnya, pajak sangat berkontribusi pada pembangunan negara dengan persentase mencapai lebih dari 70 persen.
"Dengan kontribusi yang besar ini, DJP tidak lagi bisa tergantung pada kementerian atau lembaga, karena akan repot pergerakannya. DJP bisa berada di luar kementerian, tetapi harus ada majelis atau pihak yang mengontrol sebagai pengawas," ujar Hendi pada Selasa (26/12/2023).
Menurutnya, saat ini DJP telah menunjukkan efektivitas yang baik dalam meningkatkan pendapatan negara.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, tercatat bahwa angka penerimaan pajak negara mengalami peningkatan sebelum munculnya pandemi Covid-19.
Baca juga: Syukur Jemaah Bisa Misa Malam Natal 2023 di Katedral, Terasa Seperti Sebelum Pandemi
Untuk diketahui, sepanjang beberapa tahun terakhir, penerimaan negara melalui DJP mencapai sejumlah prestasi yang signifikan.
Pada 2014, penerimaan negara mencapai Rp 985,1 triliun atau 91,9 persen dari target Rp 1.072 triliun. Pada 2015, realisasi penerimaan mencapai Rp 1.055 triliun atau 81,5 dari target yang ditetapkan.
Kemudian, pada 2016, penerimaan mencapai Rp 1.283 triliun atau 83,4 persen. Pada 2017, penerimaan negara mencapai Rp 1.147 triliun atau 89,4 persen.
Pada 2018, capaian penerimaan naik menjadi Rp 1.315,9 triliun atau sekitar 92 persen dari target. Disusul pada 2019, penerimaan negara mencapai Rp 1.332,1 triliun atau 84,4 persen.
Baca juga: Sistem CTAS Diharapkan Mampu Mudahkan Wajib Pajak dan Dorong Penerimaan Negara
Tren penerimaan tersebut berlanjut pada 2020 saat pandemi mulai menyerang, dengan realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 1.070 triliun atau 89,3 persen.
Pada 2021, penerimaan pajak mulai mengalami kenaikan kembali dengan capaian Rp 1.278,6 triliun dan mencapai Rp 1.716,8 triliun pada 2022.
Meski demikian, kinerja DJP di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memunculkan kendala dalam respons terhadap kebutuhan mendesak, seperti penambahan sumber daya manusia (SDM), alokasi anggaran, dan proses birokrasi.
Oleh karena itu, ia menilai bahwa kinerja DJP bisa lebih optimal jika beroperasi sebagai badan otonom, yang memungkinkan untuk bergerak lebih cepat dan efisien.
Baca juga: Kemenhub Kaji Pembangunan Kereta Otonom di IKN
Apalagi, kata Hendi, DJP memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan pencapaian penerimaan negara yang mencukupi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun.
"Maka harapannya memang (DJP) bisa dipisah agar lebih lincah," ujarnya.
Menyinggung mengenai peleburan dengan DJBC, Hendi menyebut bahwa hal ini dapat dilakukan karena kedua direktorat memiliki kinerja yang serupa.
Artinya, kata dia, kepemimpinan kedua direktorat tersebut sebenarnya dapat bersatu di bawah entitas yang sama, baik itu badan penerimaan negara atau badan lain yang dibentuk oleh pemerintah.
Baca juga: KontraS Minta Pemerintah Pusat Bersikap Tegas untuk Mengurai Kisruh Rohingya di Aceh
Hendi mengakui bahwa tantangan utama dalam mewujudkan kebijakan tersebut adalah membuat proses peleburan menjadi lebih halus, mengingat peleburan biasanya dapat menimbulkan friksi.
Ia mencontohkan, seperti pembagian tugas, komposisi SDM, aset, dan tugas pokok masing-masing, perlu dijabarkan secara detail.
Ketika aspek-aspek kompleks tersebut diatur dengan baik, Hendi meyakini tata kelola penerimaan negara melalui DJP dan DJBC dapat dioptimalkan secara lebih efisien. (Media Center Indonesia Maju)