KOMPAS.com - Anggota DPR RI Kaisar Kiasa Kasih Said Putra (KKSP) mengatakan, penundaan penetapan kebijakan tarif Amerika Serikat ( AS) selama 90 hari harus dimanfaatkan pemerintah Indonesia secara optimal.
“Dalam konteks itu, ada 10 poin hasil perundingan antara tim negosiator RI dan pemerintah AS yang dapat menjadi bahan sorotan penting. Namun, di balik potensi yang ditawarkan, terdapat sejumlah catatan kritis yang tidak boleh diabaikan,” ujar Kaisar melalui siaran persnya, Kamis (24/4/2025).
Contohnya, sebut dia, komitmen pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pembelian gas alam cair (LNG) dan minyak mentah (sweet crude oil) dari AS sebagai bagian dari upaya menjaga keseimbangan perdagangan perlu dikritisi secara serius.
“Kebijakan ini tampaknya tidak sejalan dengan arah strategi transisi energi nasional yang mendorong pengurangan ketergantungan terhadap energi fosil dan mempercepat pengembangan energi baru dan terbarukan,” ungkapnya.
Baca juga: KSSK: Stabilitas Sistem Keuangan RI Tetap Terjaga di Tengah Ketidakpastian akibat Tarif AS
Menurutnya, alih-alih memperkuat ketahanan energi dalam negeri melalui diversifikasi sumber energi dan pengembangan energi berkelanjutan, langkah itu justru membuka ruang bagi ketergantungan baru terhadap energi impor.
“Pertanyaan mendasarnya, ‘apakah kebijakan ini benar-benar strategi jangka panjang yang menguntungkan, atau sekadar bentuk kompromi dalam negosiasi dagang yang berisiko secara geopolitik?’,” sambung Kaisar.
Selain itu, dia menyoroti risiko fiskal yang tidak kecil. Jika skema pembelian LNG dan minyak mentah dari AS disusun dalam format kontrak jangka panjang tanpa fleksibilitas yang memadai, lonjakan harga energi global bisa berdampak langsung pada APBN.
“Baik melalui beban subsidi maupun tekanan terhadap neraca perdagangan sektor energi,” ujarnya.
Ia menerangkan, menurut data impor AS ke Indonesia yang diperoleh, selama Januari-Maret 2025, Indonesia membeli minyak mentah senilai 138,9 juta dollar AS, bahan baku LPG 656,4 juta dollar AS dan hasil minyak 659,4 juta dollar AS.
Baca juga: Vietnam Pacu Perjanjian Dagang Baru Demi Antisipasi Tekanan Tarif AS
“Harapannya, kesepakatan yang akan dibuat tidak memberikan dampak yang malah membebani pembelanjaan kita bahkan dapat membebani pergerakan kita di kancah internasional,” tuturnya.
Dia melanjutkan, jika kebijakan itu hanya bersifat switching, yakni mengganti pemasok dari negara-negara Timur Tengah, Afrika, China, dan lainnya, yang selama ini menjadi mitra utama pemerintah, pemerintah harus dapat memastikan bahwa tidak ada penambahan kuota impor.
“Sebab, peningkatan volume justru akan memperparah beban APBN yang saat ini sudah cukup berat. Oleh karena itu, transparansi dalam struktur kontrak, proyeksi harga, serta jaminan bahwa kebijakan ini tetap berpijak pada kepentingan nasional jangka panjang menjadi sangat penting,” jelas Kaisar.
Lebih jauh, dia menilai, pemerintah juga perlu berhitung dengan matang dampak dari hasil negosiasi hubungan bilateral ini terhadap hubungan Indonesia dengan negara-negara lain yang memiliki kepentingan di sektor energi.
Baca juga: Prabowo Soal Tarif AS: Kita Akan Survive, Tak Perlu Minta-minta Belas Kasihan
Pasalnya, ia tidak ingin intensifikasi hubungan bilateral dengan AS justru mengganggu keseimbangan relasi Indonesia dengan mitra strategis lainnya.
“Sejak awal berdiri, Indonesia menganut prinsip politik luar negeri bebas aktif dan prinsip ini harus tetap dijaga serta tidak dikorbankan dalam proses negosiasi perdagangan yang pragmatis,” bebernya.
Di samping itu semua, Kaisar berpendapat, relasi Indonesia dan China tidak boleh diabaikan. Sebab, ketergantungan ekonomi Tanah Air kepada China cukup signifikan, terutama dalam hal investasi, perdagangan ekspor-impor, serta keterlibatan dalam berbagai proyek infrastruktur strategis.
“Terlebih lagi, sinyal tekanan yang disampaikan oleh Menteri Perdagangan China kepada negara-negara yang tengah bernegosiasi tarif dengan AS patut menjadi perhatian serius,” ujarnya.
Baca juga: China Ancam Balas Negara yang Dukung Tarif AS: Tidak Akan Kami Terima
Pemerintah Indonesia, sebut dia, harus mampu menjaga keseimbangan diplomatik agar tidak terseret dalam konflik kepentingan global yang justru dapat merugikan kepentingan nasional.
“Di sinilah pentingnya konsistensi dalam menjalankan politik luar negeri bebas aktif bukan sekadar prinsip normatif, melainkan sebagai strategi taktis dalam menjaga kedaulatan dan kepentingan nasional di tengah dinamika geopolitik yang kian kompleks,” ungkap Kaisar.
Lebih jauh, dia berujar, seiring dengan berlangsungnya proses negosiasi ini, pemerintah Indonesia juga harus tetap konsisten terhadap tujuan utama pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan.
Pasalnya, Indonesia memiliki potensi besar dalam sektor itu, seperti cadangan nikel yang merupakan bahan utama dalam produksi baterai, dan potensi energi panas bumi (geothermal), mengingat posisi geografis Indonesia yang berada di kawasan cincin api.
Baca juga: Wakil Ketua MPR Temui Petinggi Huawei di Tengah Perang Tarif AS-China
“Oleh karena itu, langkah-langkah konkret dalam mendorong inovasi energi terbarukan harus menjadi prioritas utama pemerintahan ke depan. Sebab, hanya dengan inovasi, sebuah negara dapat tumbuh menjadi bangsa besar yang berdaulat terkhusus berdaulat dalam energi baru terbarukan,” pungkasnya.