KOMPAS.com – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Aria Bima merespons soal pernyataan Rocky Gerung yang viral belakangan ini.
Legislator dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Tengah (Jateng) V ini mengatakan, sebenarnya kritik Rocky Gerung terhadap penolakan kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rangka pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) sah-sah saja disampaikan asalkan berdasarkan argumen.
“(Kalau) kalimatnya ‘Presiden Jokowi keliru atau langkah presiden salah karena kondisi fiskal dan lain-lain,’ maka itu adalah argumen, dan negara harus menghormatinya,” ujar Aria Bima.
“Namun demikian, kalau yang dikatakan Rocky bahwa Presiden Jokowi seorang ‘bajingan yang tolol,’ itu bukan lagi argumen, melainkan sentimen,” kata Aria Bima dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (1/8/2023).
Untuk itu, Aria Bima meminta Rocky harus mampu membuktikan bahwa yang dikatakannya adalah argumen. Sebab, dirinya sangat kesulitan untuk tidak mengatakan bahwa yang dilontarkan Rocky adalah hinaan berdasarkan kebencian dan sentimen.
Baca juga: Soal Rocky Gerung Dilaporkan ke Polda Metro Diduga Hina Presiden Jokowi, Gibran: Biasa Wae Aku
Aria Bima mengatakan bahwa Rocky Gerung dalam kritiknya kepada kebijakan Jokowi, menempatkan presiden bukan sebagai kepala negara dan pemerintahan. Melainkan menghinanya sebagai seseorang manusia, seorang ayah yang memiliki keluarga, istri, anak, dan cucunya.
“Di semua negara demokratis di dunia, penghinaan semacam itu tidak pernah diperbolehkan,” kata Aria Bima.
Ia menyatakan bahwa dirinya tidak bisa membayangkan jika kalimat hinaan seperti yang disampaikan Rocky dibiarkan dan dianggap kritik atau argumen. Maka generasi muda akan teredukasi dan menganggap biasa hinaan yang destruktif seperti itu.
Padahal, kata dia, bangsa Indonesia sangat perlu pendidikan moral dan etika, serta menghormati orang lain.
Oleh karena itu, Aria Bima menegaskan bahwa apa yang disampaikan Rocky bukanlah argumen untuk kritik, melainkan sebatas hinaan berdasarkan sentimen. Hal ini akan sangat merusak mental dan cara pandang masyarakat umum terkait bagaimana kritik harus disampaikan.
“Jika hinaan dan hate speech, itu daya rusaknya sangat tinggi, Suriah dan Irak hancur karena hate speech, maka di Indonesia Undang-undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) berusaha untuk mengantisipasi daya rusak tersebut," kata dia.
Lebih lanjut, Aria Bima mengatakan, dalam iklim demokrasi yang dijalankan dengan konsisten oleh Indonesia, kritik adalah suatu bentuk koreksi atas argumen yang jelas berdasarkan data faktual, ilmiah, dan filosofis.
“Bahkan, syukur-syukur kalau kritik dan argumen yang ditawarkan dalam rangka menolak atau memprotes kebijakan pemerintah juga ada ide jalan ke luar yg mungkin bisa diambil dalam rangka perbaikan,” kata dia.
Dengan demikian, tambah Aria Bima, kritik yang disampaikan akan mengedukasi masyarakat umum, publik, anak muda dan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa.
Baca juga: Aria Bima: Pemilihan Presiden Lewat MPR Bentuk Kemunduran Proses Demokrasi
Aria Bima mengatakan, sebagai kader PDI-P dan sesuai perintah Megawati Soekarno Putri, dirinya konsisten mengawal jalannya pemerintahan Presiden Jokowi.
Ia pun sangat menyambut posifitif setiap argumen yang mengkritik setiap kebijakan yang diambil oleh presiden.
“Hal itu karena kami sebagai partai yang demokratis menyadari argumen penolakan itu selalu ada dasarnya, selalu ada faktanya, dan menawarkan cara pandang lain. Itu baik untuk perkembangan demokrasi ini,” kata Aria Bima.