KOMPAS.com - Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Jawa Timur (Jatim) Said Abdullah mengapresiasi sikap Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo (Jokowi) yang memilih bekerja menuntaskan janjinya kepada rakyat meski dikritik oleh pengamat politik Rocky Gerung.
Beberapa waktu lalu, Rocky Gerung membuat heboh publik menyusul ucapan “bajingan tolol” yang diarahkannya kepada Jokowi. Pernyataan ini lantas dilaporkan ke polisi oleh beberapa kalangan karena dianggap telah menghina Presiden Jokowi.
Said mengungkapkan bahwa Presiden Jokowi menanggapi kritik tersebut dengan kalem dan menganggap hal ini merupakan masalah kecil.
“Pilihan sikap Presiden Jokowi yang terkesan 'acuh' sesungguhnya kritik balik metaforik terhadap Pak Rocky,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Senin (7/8/2023).
Said menjelaskan, sikap Presiden Jokowi apabila dilihat dari paham kultur Jawa mencerminkan mental pangemong, sosok yang mencapai kedewasaan dan kecerdasan emosional tinggi.
Menurutnya, sikap tersebut seharusnya ditiru oleh para pendukung Presiden Jokowi.
“Tidak perlu reaksi berlebihan, apalagi riuh rendah nasional hanya karena ucapan Pak Rocky. Ada pepatah, anjing menggonggong kafilah berlalu. Tidak perlu berlebihan, apalagi seolah menjadi paramiliter dan penggebuk untuk menunjukkan loyalitas kepada Presiden Jokowi,” imbuh Said.
Sikap berlebihan seperti itu, lanjut dia, malah bertolak belakang dengan keteladanan yang dicontohkan oleh Presiden Jokowi.
Menurut Said, jiwa besar dan jiwa kerdil pada akhirnya akan tampak sejalan dengan waktu.
Ia meyakini bahwa publik bisa membedakan antara kritik otentik yang disemangati jiwa pengabdian dan lontaran kebencian yang dibungkus dengan dalil-dalil akademis.
Baca juga: Pengertian Jurnal, Fungsi dan Jenis-jenisnya dalam Dunia Akademis
“Publik juga bisa menilai motif politik dari lontaran cacian yang dikemas kritik itu. Kita tahu, sesungguhnya hal itu untuk meruntuhkan kepercayaan publik yang sedemikian tinggi terhadap Presiden Jokowi,” jelas Said.
Said mengatakan bahwa ada beberapa pihak yang merasa pusing tujuh keliling, apalagi mendekati Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Para pihak tersebut, kata dia, menginginkan pemerintahan yang seharusnya lame duck karena jelang akhir kekuasaan malah mendapatkan approval rating tinggi.
“Tiada pilihan, menjatuhkan citra Presiden Jokowi adalah sasaran utama mereka," tuturnya.
Baca juga: Presiden Jokowi Resmikan Indonesia Arena: Untuk Olahraga, tapi Konser Juga Penting
Dengan legitimasi yang rendah, lanjut dia, mereka pikir Presiden Jokowi tidak lagi memiliki kekuatan daya elektoral untuk menopang calon presiden (capres) yang didukungnya. Hal ini pun merupakan titik tembak utama menuju Pemilu 2024.
“Presiden Jokowi malah memiliki tangkisan yang cerdas. Bukan melorot legitimasinya dari rakyat. Sebaliknya, rakyat malah melihat perlakuan kasar itu menimbulkan simpati rakyat yang kian tinggi. Permainan ini tentu saja dimenangkan oleh Presiden Jokowi,” tuturnya.
Pada kesempatan tersebut, Said menuturkan bahwa ruang publik adalah “pranata” penting dalam demokrasi.
Baca juga: Tunjukkan Keakraban dengan Ganjar, Anies: Lawan dalam Pemilu adalah Teman Demokrasi
“Balik ke soal riuh rendahnya publik atas lontaran keras Pak Rocky, ada satu hal yang mencemaskan saya. Apakah itu? Ruang publik kita bising, tidak sehat, dan energi sosial sirna untuk sesuatu yang absurd,” ucapnya.
Situasi tersebut, lanjut dia, harus dipupuk, disemai oleh diskursus yang memberi teladan, dan menumbuhkan keadaban publik.
Dalam negara demokrasi, kata Said, ruang publik tidak boleh dikendalikan oleh otoritas kekuasaan, seperti yang pernah terjadi pada masa Orde Baru. Hal ini seperti yang berulang kali diingatkan oleh filsuf dan sosiolog dari Jerman, Jurgen Habermas.
“(Dalam) ruang publik harus dibangun kesetaraan komunikasi publik yang rasional. Ruang publik juga tidak boleh diisi oleh sikap mental anarkistis, karena akan menjauhkan pembentukan kesadaran bersama antara penutur dengan lawan bicaranya. Padahal kesadaran bersama itulah modal terbentuknya konsensus sosial,” ucapnya.
Baca juga: Soal Pertemuan Thailand dengan Junta Myanmar, RI: Pendekatan Satu Pihak Tak Sesuai 5 Poin Konsensus
Ia mengungkapkan bahwa ada tiga kata kunci dalam ruang publik demokratis yang dipikirkan oleh Habermas.
Kata kunci tersebut adalah setara dan rasional, serta dituturkan melalui semangat untuk membentuk kesadaran bersama.
“Rasionalitas praksis inilah yang diimpikan oleh Habermas akan melahirkan konsensus sosial. Konsensus sosial lah yang akan mengubah tatanan lama ke tatanan baru yang lebih baik,” jelas Said.
Ia mengungkapkan bahwa pilihan kritik yang disampaikan Rocky Gerung akan menjauhkan dari rasionalitas praksis dan menghapus harapan munculnya konsensus sosial untuk pranata yang lebih baik.
Baca juga: Tanpa Konsensus Menteri Keuangan G20 di India
Demikian halnya sikap reaksi berlebihan sebagian pendukung Jokowi juga mendefisitkan upaya membangun ruang publik yang sehat.
“Alih-alih meneladani sikap Presiden Jokowi, pilihan sikapnya justru bisa membuka kritik baru, yakni soal fanatisme sempit,” ucap Said.
Meski begitu, lanjut dia, kondisi tersebut merupakan jalan yang harus dilalui menuju tatanan demokrasi deliberatif. Jenis demokrasi ini ditegakkan melalui berbagai pelatihan publik untuk memahami satu sama lain, meskipun awalnya dimulai dari satwa sangka.
“Energi bangsa tak boleh lelah. Kita perlu terus merawat ruang publik sehat, walaupun terkadang mudah sekali dikoyak,” jelas Said.