KOMPAS.com - Indonesia berada pada titik waktu 78 tahun setelah Bung Karno membacakan teks proklamasi pada Kamis (17/8/2023).
Gegap gempita kemerdekaan sebagai tanda waktu kemenangan atas kolonialisme disambut gemuruh segenap rakyat. Sayangnya, pernyataan proklamasi oleh Soekarno-Hatta belum menjadi lonceng kematian penjajahan atau kolonialisme.
Itulah sebabnya, Bung Karno dan segenap tokoh pendiri bangsa, menegaskan atas bahaya kolonialisme sejak dulu.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDI-P) Said Abdullah mengamini hal itu. Ia pun mengatakan, penegasan perlawanan terhadap kolonialisme tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Baca juga: Survei SMRC, Kepuasan Publik pada Kinerja Jokowi Capai 70 Persen, PDI-P: Akan Dilanjutkan Ganjar
“Itu artinya, ada kewajiban sejarah, konstitusional, dan kemanusiaan bagi bangsa Indonesia untuk melawan kolonialisme. Poin inilah yang harus masyarakat Indonesia kuatkan dalam kebulatan tekad kapan pun,” ujar Said dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Rabu (16/8/2023).
Jelang Hari Kemerdekaan, Said pun mengajak masyarakat untuk berkaca diri dan mengevaluasi. Ia mengatakan, tak ada artinya merayakan kemerdekaan setiap tahun, bahkan dengan kemegahan upacara, bila mental dan perilaku rela menjadi subordinasi kolonial.
Said menjelaskan, kolonialisme abad 21 adalah kolonialisme sistemik, bukan lagi kolonialisme fisik sebagaimana praktiknya pada abad 20.
Bung Karno, lanjut Said, juga mengingatkan seluruh pihak bahwa haram hukumnya bagi pemerintahan nasional memiliki watak dan melakukan kolonialisme terhadap bangsa sendiri.
Baca juga: Hoaks Bertebaran, Said Abdullah Ingatkan Rakyat untuk Bijak Bermedsos
“Meneguhkan jalannya pemerintahan nasional melawan kolonialisme tentulah tidak mudah. Bung Karno sendiri merasakan mahalnya meneguhkan diri melawan kolonialisme. Ia dijatuhkan dari upayanya memimpin bangsa pasca-kolonial melawan kolonialisme,” tutur Said.
Lebih lanjut, Said menilai, kejatuhan masa kepemimpinan Bung Karno akibat pemerintahan nasional berikutnya yang bermental kolonial, serta mentalitas yang rela mensubordinasikan diri pada sistem dan kekuatan kolonial.
Watak dan mentalitas kolonial itu, imbuh Said, dapat hidup dalam beragam sistem pemerintahan abad 21. Bahkan, dalam kepemimpinan demokratis sekalipun.
Itulah sebabnya, menurut Said, melenyapkan praktik kolonialisme menjadi tugas sejarah yang amat penting.
Baca juga: Ketua Banggar DPR Sebut Penerapan Konsep Negara Kesejahteraan Bisa Bantu Atasi Kemiskinan di Papua
"Tugas sejarah kaum intelektual untuk menjadi kekuatan modular yang mampu mengirimkan sinyal atas keseluruhan praktik pemerintahan nasional. Namun, (sebaliknya), menjadi bagian dari kekuatan kolonial atau melakukan kolonialisme dalam segala bentuk," katanya lagi.
Meski demikian, ia juga mengingatkan pada seluruh pihak untuk memahami kembali bahwa kemerdekaan Indonesia dibidani oleh kaum terpelajar Indonesia saat masih di bawah kepemimpinan Belanda. Kala iu, Tanah Air masih bernama Hindia Belanda.
"Dengan segala keterbatasan, anak-anak Hindia Belanda yang kuliah di Belanda mendirikan Perhimpunan Indonesia (PI) pada 1923,” kata Said.
Ia menjelaskan, PI menjadi kumpulan intelektual organik yang berpikir dan bergerak merumuskan Indonesia agar merdeka seutuhnya. Padahal, mereka punya kesempatan besar menjadi pegawai kolonial. Akan tetapi mereka memilih jalan terjal, melawan kolonialisme.
Baca juga: Soal Pernyataan Rocky Gerung Dianggap Hina Jokowi, Begini Tanggapan Aria Bima
Dengan segala keterbatasan dan tekanan dari pemerintah kolonial, kongres pemuda Indonesia pada 1926 dan 1928 mendeklarasikan satu tekad, satu bangsa, satu bahasa, dan satu Tanah Air Indonesia.
“Mereka berkumpul dalam kebulatan tekad pastinya digerakkan atas pengalaman pahit masa lalu, menjalani kenyataan pahit, hidup tidak merdeka, dan getirnya menjadi bangsa jajahan,” jelasnya.
Said melanjutkan paparannya mengenai sejarah Tanah Air. Seiring berakhirnya perang dunia kedua, semakin banyak negara merdeka. Namun, tata dunia tidak serta-merta membuat hubungan antarnegara itu setara.
Menurut Said, ketidaksetaraan itu tampak mencolok atas tata kelola Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sebagai organisasi dunia.
Baca juga: Puan Bertemu Airlangga, Said Abdullah Sebut PDI-P dan Golkar Segera Kerja Sama
Ketidaksetaraan juga tampak atas pemberlakuan berbagai sistem ekonomi global, sebagaimana terlihat pada kebijakan perdagangan dan moneter.
“Dominasi juga sangat tampak pada budaya dan bahasa dalam supra struktur global yang kuat melalui industri budaya. Maraknya artificial intelligence (AI) yang disuntikkan dalam industri digital makin mengokohkan kontrol seluruh warga dunia. AI menjadi daya panoptisis yang melampaui kerja intelijen konvensional,” kata Said.
Said menilai, fakta tersebut mendorong berbagai pihak menarik satu satu kesimpulan bahwa kolonialisme tidak berhenti.
Alih-alih redup, lanjut Said, negara-negara pemenang perang dunia kedua justru membangun sistem global untuk mengokohkan dominasi mereka. Mereka menancapkan korporatisme global yang difasilitasi negara.
Baca juga: Puan: Satukan Tekad, Kader Banteng Menangkan Ganjar
“Sudah terlalu banyak catatan sejarah, deklarator, dan pemimpin negara-negara pasca kolonial tumbang. (Mereka) digantikan oleh pemimpin baru yang melayani korporatisme global,” imbuh Said.
Kwame Nkrumah, misalnya, Presiden Ghana pertama sekaligus pejuang kemerdekaan. Ia merupakan salah satu pemimpin Afrika yang lantang menentang neo-kolonialisme pada 24 Februari 1966 dikudeta oleh militer.
Tak berselang lama, kudeta serupa dilakukan terhadap Bung Karno oleh kekuatan militer yang menguasai Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 7 Maret 1967.
Pendek kata, lanjut Said, meneguhkan komitmen kemerdekaan tidaklah mudah. Tata dunia yang kian borderless makin memudahkan pergerakan berbagai sumber daya untuk kepentingan apa pun.
Baca juga: Jadi Partai Modern Berideologi Pancasila, PDI-P Hadirkan Stan Aplikasi MPP di Puncak Peringatan BBK
“Itu sebabnya, Indonesia membutuhkan pemimpin nasional yang memiliki komitmen kuat pada cita-cita proklamasi, andal berdiplomasi, dan cakap memimpin jalannya pembangunan berkelanjutan untuk kemakmuran rakyat,” tambahnya.
Kini, imbuh Said, Indonesia dihadapkan kembali kutub global yang hampir mirip dengan era perang dingin.
"Poros Tiongkok dan Rusia di satu sisi, serta Amerika Serikat dan Eropa di sisi lain. Kedua blok pasti sangat berkepentingan meluaskan pengaruhnya, termasuk ke Indonesia sebagai negara yang membebaskan diri dari blok mana pun,” terang Said.
Bagi pemimpin yang setia pada cita-cita proklamasi, lanjut dia, membangun hubungan baik dengan kedua blok menjadi sangat penting.
Baca juga: Kader Muda PDI-P Bane Raja Manalu Salurkan Beasiswa untuk 8.500 Pelajar di Sumut
“Basis relasinya tentu kepentingan nasional. Moderasi kepentingan tetap dihalalkan sejauh tidak mengorbankan prinsip penting yang diatur pada konstitusi, serta terus menapaki jalan menuju trisakti Bung Karno, yakni Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan,” tambahnya.
Sejalan dengan hal itu, Indonesia juga dipandang perlu mengoreksi ke dalam, yakni sejauh mana cita-cita proklamasi dijalankan.
Berbagai pertanyaan kontemplatif harus terus menjadi kontrol diri. Utamanya, bagi para penyelenggara negara atas komitmennya pada ketidakadilan, kemiskinan, kesenjangan sosial, kedaulatan nasional, dan berbagai isu strategis lainnya.
“Semoga, 78 tahun ruh kemerdekaan makin bersemayam kuat pada seluruh rakyat Indonesia. Terus melaju untuk Indonesia Maju,” kata Said.