KOMPAS.com – Ketua Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Said Abdullah mengatakan, pihaknya mendukung gerakan Bank Indonesia (BI) yang mengajak bank sentral milik negara-negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) untuk memanfaatkan mata uang lokal masing-masing.
“Ajakan BI kepada bank sentral di ASEAN patut kita dukung. Banggar sebenarnya sudah lama mendorong BI untuk menggunakan berbagai skema pembayaran mata uang,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Senin (28/8/2023).
Untuk diketahui, ajakan BI tersebut merupakan misi khusus yang dibawa dalam Keketuaan Indonesia di ASEAN pada 2023. Apabila kebijakan pemanfaatan mata uang itu diterapkan, negara-negara ASEAN dalam melakukan transaksi tak lagi harus mengkonversikan lagi ke dollar AS.
Said mengungkapkan bahwa mayoritas mitra dagang Indonesia adalah negara-negara di ASEAN. Selain ASEAN, kata dia, ada Tiongkok, Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Korea Selatan (Korsel).
Baca juga: Jambore Pramuka Dunia di Korsel Sisakan Sederet Kasus Dugaan Pelecehan Seksual dan Korupsi
“Karena mitra dagang terbesar kita ASEAN, maka sangat masuk akal jika BI menggunakan banyak mekanisme pembayaran,” imbuh Said yang juga menjabat Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Bidang Perekonomian.
“Bagi kami, dalam kawasan ASEAN, ada baiknya BI tidak hanya menggunakan pembayaran USD saja, tetapi juga mata uang mitra dagang kita sebagai pembayaran regional di kawasan ASEAN,” jelasnya.
Oleh karenanya, kata Said, BI perlu mengkaji lebih dalam jika ASEAN menggunakan mata uang bersama seperti Euro yang digunakan oleh negara-negara anggota Uni Eropa.
“Sebab selama ini kita menggunakan dollar AS lebih banyak terdepresiasi. Selama setahun lalu saja rupiah cenderung terkoreksi hingga minus 9,3 persen,” ucapnya.
Said menilai, penggunaandollar Amerika Serikat (AS) dalam pembayaran internasional sangat merugikan secara ekonomi dan keuangan.
Baca juga: Kubu Lukas Enembe Hadirkan Ahli Hukum Tata Negara dan Ahli Keuangan Negara
Pasalnya, Indonesia dalam sejarah panjang telah menggunakan dollar AS sehingga membuat rupiah cenderung konsisten terdepresiasi.
“Padahal dalam beberapa tahun ini neraca perdagangan kita dengan AS selalu surplus, harusnya rupiah menguat terhadap dollar AS,” ucap Said.
Namun, lanjut dia, hal itu tidak terjadi lantaran banyak faktor lain yang dominan, seperti kebijakan moneter Federal Reserve yang terus mempertahankan kebijakan hawkish, sehingga menyeret sejumlah mata uang global tertekan terhadap dollar AS.
Untuk diketahui, Federal Reserve adalah bank sentral AS yang memiliki pengaruh besar terhadap acuan perekonomian global. Sementara itu, hawkish bisa diartikan sebagai kebijakan yang cenderung lebih agresif dan lebih mengutamakan stabilitas harga.
Baca juga: Anies Baswedan Kunjungi Pasar di Situbondo, Bicara Kebersihan dan Stabilitas Harga
“Hemat saya, sebelum ada perubahan sistem moneter global, pilihan paling logis menghindarkan rupiah terus terdepresiasi adalah menggunakan local currency settlement (LCS) dengan banyak mata uang. Kita gunakan dollar AS saat melakukan perdagangan dengan AS,” jelas Said.
Perlu diketahui, LCS adalah penyelesaian transaksi bilateral yang dilakukan oleh dua negara berbeda dengan menggunakan mata uang lokal yang berlaku di masing-masing negara.