KOMPAS.com – Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan bahwa pemerintah akan menanggung pajak pertambahan nilai (PPN) 100 persen atas pembelian rumah di bawah Rp 2 miliar selama November 2023 sampai Juni 2024. Sesudah masa tenggat, pemerintah akan menanggung PPN sebesar 50 persen.
Selain itu, pemerintah juga akan memberikan bantuan administratif bagi perumahan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebesar Rp 4 juta hingga 2024.
Menanggapi kebijakan Jokowi, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Bidang Perekonomian Said Abdullah mengatakan, pihaknya mendukung program tersebut karena dasarnya memiliki kebaikan untuk rakyat.
Apalagi, kata dia, program itu merupakan kesepakatan bersama semua fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan pemerintah sejak Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 dan 2024 disahkan. Selanjutnya, urusan pelaksanaan teknis kebijakan menjadi tanggungjawab pemerintah.
Baca juga: Kebijakan Cybersecurity untuk Sistem Keamanan Perbankan
“Namun, kami perlu ingatkan kepada pemerintah bahwa program itu tidak cukup menyelesaikan masalah pokok yang dihadapi rakyat,” ujar Said dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Rabu (25/10/2023).
Ia mengungkapkan bahwa masalah fundamental di Indonesia adalah kebutuhan pangan dan minyak bumi yang ditopang dari impor negara lain, serta ketergantungan penggunaan dollar Amerika Serikat (AS) dalam pembayaran internasional.
Hampir sepuluh tahun, kata Said, pemerintah belum berhasil mengatasi ketergantungan impor minyak bumi, beras, jagung, gula, kedelai, daging, dan bahan pangan pokok rakyat lainnya.
“Saat muncul perang, kita terancam susah mendapatkan pasokan dan harganya tinggi, ditambah membayar dengan dollar AS yang sedang tinggi. Itu yang kita hadapi saat ini,” imbuhnya.
Baca juga: Kekeringan, Warga Bima Tempuh Jarak 2 Km demi Air Bersih
Said mencontohkan kasus kekeringan sawah yang menyebabkan masalah produksi beras. Selama Agustus-September 2023, harga beras mengalami kenaikan sebesar 27 persen. Akibatnya, inflasi beras menembus 5,6 persen dalam lima tahun terakhir.
Menurutnya, terjadinya inflasi tersebut menjadi sinyal bahwa program embung dan bendungan belum bekerja baik. Begitu juga dengan program food estate yang belum mampu menjadi penyedia pasokan.
“PDI-P sejak dua tahun lalu sudah mengajak kita semua untuk bersiap-siap menghadapi krisis pangan dan energi,” ucapnya.
Said menjelaskan bahwa sejak pelaksanaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) pada 2022 dan 2023, PDI-P terus mendorong pemerintah agar mempersiapkan kebijakan fiskal yang kuat dan sistematis guna menghadapi krisis pangan dan energi.
Baca juga: Krisis Pangan Terjadi Bila Suhu Bumi Naik 3,5 Derajat Celsius
Dengan begitu, sebut dia, kebijakan yang dijalankan komprehensif, tidak sepotong-potong sehingga malah tidak menyelesaikan masalah.
Pada kesempatan tersebut, Said mengungkapkan bahwa PDI-P ingin berbagai kebijakan strategis berjalan secara paripurna.
“Pertama, bantuan sosial (bansos). Sejak Agustus 2023, fraksi PDI-P di Badan Anggaran DPR telah mendorong pemerintah melakukan percepatan dan penambahan program bansos kepada rakyat,” jelasnya.
Sebab, menurut Said, penyaluran bansos, baik yang tunai dan nontunai, harus dilakukan secara tepat waktu, tepat sasaran, dan tepat jumlah agar bisa menolong rakyat miskin.
Baca juga: Pemerintah Bakal Bagi-bagi Bansos Beras 10 Kg dan Uang Rp 400.000 di Akhir 2023
Namun, kata dia, penebalan bansos justru baru dijalankan pada November 2023.
“Kedua, memastikan ketersediaan pasokan pangan rakyat minimal bisa mencukupi untuk kebutuhan enam bulan ke depan,” ujar Said.
Utamanya, lanjut dia, pasokan pangan dengan komoditas yang dipenuhi dari kegiatan impor, seperti beras, jagung, kedelai, gula, daging, minyak bumi.
Ketiga, pelaksanaan kebijakan impor pangan dan minyak bumi harus melalui badan usaha milik negara (BUMN) untuk menghindari konflik kepentingan.
Baca juga: Wamen BUMN Rosan Roeslani Jadi Ketua Tim Kampanye Prabowo-Gibran
“Apalagi perburuan renten menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 semakin banyak. Kita harus buat Pemilu 2024 fair dan adil buat semua kontestan, sekaligus memperkuat peran BUMN,” imbuh Said.
Keempat, lanjutnya, memastikan kesiapan BUMN sebagai pelaku impor. BUMN harus memiliki pencadangan dollar AS atau mata uang internasional lainnya untuk mengurangi selisih kurs tinggi terhadap mata uang asing.
Kelima, memastikan kembali kesiapan berbagai program infrastruktur. Utamanya, infrastruktur yang sudah dianggarkan senilai triliunan rupiah agar bisa menopang kebutuhan rakyat serta mencukupi kebutuhan pangan dan energi secara mandiri.
Terakhir, penggunaan Surat Berharga Negara (SBN) sebagai penjaminan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Baca juga: SRBI, Amunisi Baru BI yang Direspons Baik Pasar
Seperti diketahui, Bank Indonesia (BI) telah menggulirkan SRBI sebagai instrumen operasi moneter yang menggunakan underlying aset SBN. Secara substansi tidak berbeda dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
“Penggunaan SBN sebagai penjaminan SRBI harus hati-hati digunakan oleh BI dalam operasi moneter untuk pengendalian tekanan dollar AS terhadap rupiah. Apalagi, sejak awal kita mengetahui kebijakan suku bunga tinggi yang dilakukan The Fed akan berlangsung lama dan panjang,” tutur Said.
Menurutnya, mitigasi risiko terhadap APBN perlu diperhitungkan, termasuk kemampuan BI dalam menggunakan SRBI untuk menahan tekanan eksternal.