KOMPAS.com – Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Bidang Perekonomian Said Abdullah mengemukakan tiga alasan bagi para politisi untuk mempertimbangkan realitas dinamika sosial dalam pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, terutama bagi mereka yang masih menggunakan paradigma lama.
Pertama, kata dia, masyarakat saat ini semakin mudah mendapatkan akses informasi dan komunikasi, sehingga setiap tindakan penyalahgunaan kekuasaan, sekecil apapun, dapat dengan mudah dan cepat diketahui oleh rakyat di seluruh negeri.
“Kedua, masyarakat Indonesia saat ini secara praktis tidak lagi menjadi konsumen berita,” ujar Said dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (16/1/2024).
Ia menjelaskan bahwa masyarakat kini telah menjadi bagian dari pembuat berita, sehingga tindakan-tindakan oknum yang mencemarkan pelaksanaan pemilu dapat dengan cepat menyebar ke seluruh negeri bahkan dunia.
Baca juga: Ketua Ormas di Medan yang Ancam Bunuh Wartawan Disidang
Wartawan-wartawan amatir yang hanya bersenjatakan ponsel sederhana saat ini dapat ditemui di setiap tempat.
Untuk perbandingan, Said menjelaskan berdasarkan survei terbaru dari Google yang berjudul "Think Tech, Rise of Foldable: The Next Big Thing in Smartphone," jumlah ponsel aktif di Indonesia mencapai 354 juta perangkat.
Angka tersebut didasarkan pada perangkat yang terhubung dengan internet melebihi jumlah penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian penduduk memiliki lebih dari satu perangkat ponsel.
“Data-data yang dirilis pada 2023 itu seharusnya menjadi perhatian bagi siapa pun yang terlibat dalam pelaksanaan Pemilu 2024,” imbuh Said.
Baca juga: Konfeksi Kaus Sablon di Bekasi Banjir Orderan Pemilu 2024, Omzet Meningkat Dua Kali Lipat
Masyarakat Indonesia, lanjut dia, sangat peka terhadap segala bentuk kontrol yang ketat, sehingga tindakan yang menunjukkan indikasi kecurangan, seperti sikap tidak netral dari berbagai institusi negara, dapat dengan cepat menjadi viral di seluruh negeri.
Said mengungkapkan, alasan ketiga adalah munculnya perspektif pemikiran baru yang lahir dari fakta sosial selama hampir 25 tahun sejak Indonesia memasuki era reformasi.
“Masyarakat tidak lagi terbelenggu dan terkungkung seperti pada era Orde Baru (Orba),” imbuhnya.
Bahkan, lanjut Said, beberapa kalangan mencatat bahwa keberanian masyarakat saat ini luar biasa dalam menyampaikan kritik dan melakukan perlawanan terhadap berbagai pihak yang dianggap merugikan kepentingannya. Terdapat kesadaran bahwa pihak yang seharusnya netral ternyata menjadi partisan.
Baca juga: Jokowi Cawe-cawe demi Bangsa, Pengamat: Tempatkan Jadi Presiden Partisan
Menurut Said tiga variabel tambahan tersebut harus menjadi perhatian utama, terutama bagi para politisi yang memainkan peran penting dalam pelaksanaan pemilu.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai pengawas harus menjaga netralitas dan ketidaktertarikan.
“Saat ini, tidak ada ruang sama sekali untuk mencoba melakukan tindakan yang meragukan dalam proses pemilu. Masyarakat akan mengawasi dengan sangat ketat semua pihak yang mencoba mengganggu integritas pemilu,” ujar Said.
Ia menegaskan berbagai kasus seperti pengiriman kertas suara ke Taiwan, simulasi kertas suara Pilpres yang hanya melibatkan dua pasangan calon (paslon), pengerahan aparat desa, dan politisasi Bantuan Langsung Tunai (BLT), serta bantuan sosial (bansos) yang diklaim dari pribadi, harus dihindari agar tidak terulang.
Baca juga: BLT El Nino Diperpanjang Jelang Pemilu, Pengamat: Bisa Saja Pertimbangannya Politis...
Kondisi dinamika yang sangat intens tersebut, kata dia, memerlukan perhatian serius karena dapat menjadi pemicu kekecewaan massal ketika masyarakat melihat dan merasakan tindakan sewenang-wenang yang melanggar norma hukum.
“Semua pihak harus berhati-hati untuk tidak tergoda melanggar undang-undang (UU) dan etika dalam pelaksanaan pemilu. Penyebaran informasi dan komunikasi yang begitu massif dapat dengan mudah memicu solidaritas kekecewaan dan ketidakpuasan masyarakat,” jelas Said.
Ia yakin bahwa semua pihak tidak menginginkan pemilu menimbulkan situasi yang dapat merusak kedamaian negeri ini.
Menurut said, kedamaian negeri memiliki nilai yang sangat tinggi dibandingkan dengan sekeping keinginan untuk berkuasa.
Baca juga: Konfeksi Kaus Sablon di Bekasi Banjir Orderan Pemilu 2024, Omzet Meningkat Dua Kali Lipat
“Oleh karena itu, mari jaga seluruh proses pemilu agar berjalan dengan jujur dan adil (jurdil), sehingga kedamaian, persaudaraan, kesatuan, dan persatuan tetap terjaga, menjadikan negeri ini semakin baik,” ujarnya.
Sebelumnya, Said menyatakan bahwa pemilu seharusnya berlangsung dengan damai dan menyenangkan, menjadi wadah bagi rakyat untuk menggunakan hak politiknya secara cermat dan matang.
Meskipun demikian, ia menegaskan pentingnya kewaspadaan terhadap jargon pemilu yang terkesan damai dan riang gembira.
“Sebab, di balik jargon tersebut mungkin terdapat upaya untuk menyembunyikan potensi kecurangan sistematis dalam penyelenggaraan pemilu,” imbuh Said.
Baca juga: Cegah Kecurangan pada Pilpres 2024, Timnas Amin Ajak Masyarakat Kawal Suara di TPS
Said menyampaikan pandangan tersebut tidak sebagai penolakan terhadap konsep pemilu yang damai dan bergembira ria.
Ia sepenuhnya mendukung ide bahwa pemilu seharusnya berlangsung dengan damai dan penuh sukacita.
Said menegaskan bahwa syarat yang cukup penting untuk pemilu demokratis adalah perlakuan setara dan adil terhadap semua kontestan.
“Alat-alat negara duduk pada porsinya. Sebab, pemilu adalah gelanggang kompetisi bagi masyarakat sipil, partai-partai, kandidat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), calon legislatif (caleg), dan para pemilih,” ujarnya.
Menurut Said, perlakuan adil dan setara, netralitas aparat negara, penyelenggara yang profesional, dan sikap imparsial menjadi kunci untuk memastikan pemilu berjalan secara objektif dan memberikan rasa damai dan riang gembira.
Baca juga: Ingatkan soal Pemilu Damai, Kapolda Metro: Jangan Mengancam, Intimidasi, dan Fitnah
Jika kondisi objektif tersebut tidak terpenuhi, kata dia, potensi risiko bagi demokrasi dan ketertiban sipil dapat muncul.
Said menekankan bahwa masyarakat tidak ingin mengalami pengalaman buruk seperti suksesi kepemimpinan di negara-negara yang saat ini mengalami konflik, seperti Irak, Suriah, dan Afghanistan.
“Tak ada sepercik pun bahkan bayangan kepahitan yang menyengsarakan dan menimbulkan petaka sehingga berjatuhan air mata, darah dan nyawa rakyat mewarnai pelaksanaan pemilu,” tegas Said.
Ia yakin harapan ideal terwujudnya pemilu sebagai proses suksesi yang damai dapat menjadi kenyataan apabila seluruh pihak bersatu padu untuk mengawalnya sesuai koridor demokrasi, yang diwarnai oleh nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebebasan, dan kerahasiaan.
Baca juga: Debat Capres Perdana, Masyarakat Butuh Kejujuran dan Ide Genuine
Dalam konteks kekinian, kata Said, penting bagi semua pihak untuk mematuhi dan secara sungguh-sungguh mengawal seluruh proses pemilu agar berlangsung sesuai semangat demokrasi.
“Dinamika sosial, kemajuan teknologi informasi, dan perkembangan komunikasi menjadi kekuatan luar biasa yang secara ketat memonitor setiap aspek, sehingga tindakan yang menyimpang dari aturan permainan dapat terdeteksi dengan mudah, sekecil apapun itu,” imbuhnya.
Said mengatakan bahwa pemantauan melalui rakyat menjadi alat yang mengungkap segala bentuk kecurangan dan upaya tipu daya yang dapat mengakali demokrasi demi meraih kekuasaan.