KOMPAS.com - Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDI-P) Said abdullah mengamati panasnya tahun politik pada pelaksanaan pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) 2024 pada Februari mendatang.
Berdasarkan pada peta politik yang ada, kata dia, besar kemungkinan pilpres akan berlangsung dua putaran.
“Besar kemungkinan juga akan bersengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) jika melihat kecenderungan tahapan pemilu yang tidak jujur dan adil (jurdil),” ujarnya dalam siaran pers, Rabu (24/1/2024).
Said mengatakan, kondisi tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian usaha karena dinamika politik yang cenderung labil.
“Di tengah demokrasi kita yang malah surut mundur, saya kira investor juga memiliki banyak analis sebelum mereka melakukan investasi. Mereka menghitung seluruh risiko risikonya,” katanya.
Baca juga: PDI-P Sebut Jokowi Langgar Etika dan Moral Jika Memihak dalam Pilpres
Ketua Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) itu menilai, sepanjang konsolidasi kekuasaan hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 belum terjadi, investor akan lebih menahan diri.
“Saya perkirakan, investor akan menunggu, setidaknya setahun setelah pilpres. Artinya, baru pada 2025 mereka melihat perkembangan konsolidasi kekuasaan di pemerintahan dan DPR,” ujarnya.
Said mengatakan, dari konsolidasi di pemerintahan tersebut, pemerintah yang terpilih baru bisa menyusun kebijakan untuk meyakinkan investor.
“Jadi kalau target investasi pada pada 2024 lebih tinggi dari 2023, dari Rp 1.400 triliun menjadi Rp 1.617 triliun, saya kira tidak mudah dicapai pemerintah karena pertimbangan politik dalam negeri di atas,” jelasnya.
Dia menilai wajar jika Bank Dunia membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih rendah dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.
Baca juga: Sejumlah Menteri PDI-P Disebut Siap Mundur tapi Dilarang Megawati
Bank dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di level 4,9 persen, sedangkan asumsi makro di APBN 2024 sebesar 5,2 persen.
Selain itu, lanjut Said, kondisi global dengan ketegangan global di Timur Tengah makin meluas.
Selain perang Rusia dan Ukraina belum berakhir, ketegangan Tiongkok dan Amerika Serikat di Asia Timur juga akan menahan arus modal masuk ke Indonesia.
“Saya kira investor global akan lebih memilih di negara-negara konservatif dengan kondisi ekonominya yang sudah stabil,” katanya.
Kemudian, kebijakan suku bunga tinggi yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) yang belum segera berakhir akan menyedot dollar AS.
Meski demikian, Said menilai, investasi pada sektor pangan dan energi hijau menjanjikan imbal hasil yang baik.
Baca juga: Jokowi Komentari Jalan Solo-Purwodadi, PDI-P: Membantu Kepemimpinan Pak Ganjar
Apalagi, kedua sektor itu didukung penuh kebijakan pemerintah, seperti insentif perpajakan, bea masuk, dan kemudahan kemudahan lainnya seperti perizinan.
“Saya kira siapa pun yang nanti terpilih meneruskan pemerintahan berikutnya, baik dari satu, dua, dan tiga, dua sektor itu niscaya akan diperkuat sebagai fokus kebijakan ke depan,” ujarnya.
Dalam hal ini, Said menilai hal target investasi pada tahun politik kali ini akan berat.