KOMPAS.com - Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Said Abdullah mengatakan, sejumlah mata uang lokal mengalami tekanan hebat sejak The Fed, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) memberlakukan suku bunga tinggi.
Said mengungkapkan, mata uang rupiah merupakan salah satu yang terdampak. Ia menyebut, hingga saat ini, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berada di level Rp 15.317-16.483.
“Jika dibandingkan dengan tahun lalu, posisi rupiah mengalami minus 5,25 persen. Kecenderungan ini disebabkan pada situasi eksternal dan internal,” ujar Said dalam keterangan tertulisnya, Selasa (18/6/2024).
Dari sisi internal, Said mengatakan, sejak pandemi Covid-19, investor asing mulai menarik diri sebagai buyer di Surat Berharga Negara (SBN).
Ia menyebut, nilai investor asing pada 2019 mencapai 38,5 persen. Namun, setahun kemudian, hanya mencapai 25,1 persen. Sementara pada akhir Mei 2024, tersisa 14 persen.
Menurutnya, perginya investor asing pada SBN mengakibatkan kepemilikan dollar AS semakin menurun.
Said pun menjelaskan penyebab lain terpuruknya nilai rupiah, yaitu harga komoditas ekspor andalan Indonesia, seperti batubara dan crude palm oil (CPO) yang tidak setinggi tahun 2022.
“Sejak pertengahan tahun 2023 hingga kini, harga batubara hanya di kisaran 120 dollar AS per ton. Padahal awal kuartal II-2022 hingga kuartal I-2023 harga batubara berada di level 400 dollar per ton,” ujar Said.
Baca juga: Soal RAPBN 2025, Said Abdullah Soroti Masalah Kemiskinan, Stunting, hingga Pendidikan
“Sama halnya dengan batubara, harga CPO pada 2022 berada di level 4.200-4.400 ringgit per ton, sedangkan untuk harga sekarang hanya mencapai 3.800-3.900 ringgit per ton. Menurunnya dua komoditas andalan Indonesia ini, tidak membuat dompet devisa negara tebal,” lanjutnya.
Disaat yang sama, Said mengungkapkan bahwa pemerintah juga membuka kran impor. Menurutnya, besarnya arus impor ini membuat arus dollar AS semakin pergi.
Bahkan, kata dia, bukan hanya rupiah yang mengalami penurunan, sejumlah industri dalam negeri, seperti tekstil juga mengalami kebangkrutan dan merumahkan karyawannya.
Adapun dari sisi eksternal, Said mengatakan, perekonomian AS perlahan-lahan semakin membaik sejak inflasi pada 2022.
Baca juga: Ketua DPD PDIP Jatim Said Abdullah Dukung Megawati Soekarnoputri Kembali jadi Ketua Umum PDIP
Menurutnya, penguatan perekonomian AS ini, membuat investor memilih untuk meninggalkan Indonesia sehingga menyebabkan tidak adanya devisa baru.
“Akibat situasi ini, tahun 2023, current account Indonesia mengalami defisit 1,6 milar dollar AS Billion. Bahkan, food trade deficit Indonesia pada 2023 menyentuh 5,3 milar dollar AS. Ini merupakan angka tertinggi selama republik ini berdiri,” ucap Said.
Hal tersebut diperparah dengan daya beli masyarakat yang menurun.
Said mengungkapkan, survei yang dilakukan Bank Indonesia (BI) menyatakan, tingkat penjualan eceran jenis sandang dari tahun 2020 hingga sekarang belum pulih maksimal. Angka penjualan masih berada di level 51,8 – 57.
“Sementara di periode sebelum pandemi, aberada di kisaran 150–240. Data ini memperlihatkan daya beli rakyat sedang tidak baik-baik saja,” ucapnya.
Baca juga: Jokowi Bertemu Puan di WWF 2024, Said Abdullah: Pemimpin Negara Harus Padu
Menghadapi situasi tersebut, Said mengajak pemerintah untuk meningkatkan kepercayaan rakyat dengan memberikan ucapan dan tindakan yang objektif. Tujuannya agar rakyat sejak dini sudah bersiap dalam menghadapi segala kemungkinan-kemungkinan yang ada.
Menurutnya, keadaan yang akan dihadapi ke depan tidaklah mudah. Hampir dipastikan The Fed masih akan bertahan di suku bunga tinggi dan ketidakmenentuan geopolitik global yang akan mendorong kebijakan restriktif oleh masing-masing negara guna mengamankan kepentingan nasional.
“Oleh sebab itu, saya benar-benar mengharapkan pemerintah, pemimpin nasional, dan pemangku kebijakan untuk tidak membuat komunikasi publik bahwa kita sedang baik-baik saja,” ujarnya.
Untuk menghadapi itu, Said menyebutkan tujuh poin yang perlu diperhatikan oleh pemangku kebijakan fiskal dan moneter guna memperkuat kebijakan struktural perekonomian nasional.
Baca juga: Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral
Pertama, memastikan tata kelola devisa, terutama devisa hasil ekspor sumber daya alam (SDA) agar dapat berjalan optimal untuk memperkuat cadangan devisa.
Menurutnya, pemangku kebijakan fiskal dan moneter perlu memberikan kebijakan insentif dan sanksi yang sepadan untuk menopang tata kelola devisa nasional.
“Kedua, terus dilakukan reformasi pada sektor keuangan agar lebih inklusif serta mendorong aliran modal asing semakin tumbuh,” ujarnya.
Pasalnya, kata dia, aliran masuk investasi portofolio kembali positif pada triwulan II-2024 sampai dengan 30 Mei 2024. Secara neto tercatat, sebesar 3,3 miliar dollar AS. Capaian ini, perlu dijaga oleh pemerintah dan BI.
Baca juga: Said Abdullah: Perjuangan Kartini Layak Dapat Nobel
Ketiga, perketat kebijakan impor terutama pada sektor-sektor yang semakin menggerus devisa serta memukul sektor industri dan tenaga kerja.
Keempat, Said mengatakan bahwa pemerintah perlu memastikan SBN sebagai instrumen yang menarik bagi investor asing dengan yield yang moderat agar tidak menjadi beban bunga.
“Pemerintah juga perlu memastikan stand by buyer untuk SBN, sebab SBN telah menjelma menjadi sumber pembiayaan penting bagi kelangsungan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN),” ucap Said.
Kelima, lanjut dia, pemerintah perlu memperluas dan kreatif untuk menopang kebutuhan pembiayaan di tengah likuiditas nasional dan global yang semakin ketat dan terbatas.
Baca juga: Jaga Kesalehan Sosial, Said Abdullah Ajak Masyarakat Memaknai Ramadhan
Hal tersebut, kata Said, perlu dilakukan dengan melibatkan berbagai organisasi masyarakat dan asosiasi pengusaha yang menghimpun likuiditas besar untuk ikut berpartisipasi dengan saling menguntungkan.
Keenam, Said menyebut, berbagai kebijakan BI yang mengurangi dollar AS sebagai pembayaran internasional dengan membuat sejumlah local currency swab belum terlihat outcome-nya.
“Untuk itu, BI perlu memastikan kebijakan ini sesegera mungkin dapat diandalkan, sehingga ketergantungan kita terhadap dollar AS perlahan bisa dikurangi,” katanya.
Ketujuh, ia mengatakan bahwa pemerintah dan BI perlu melakukan antisipasi kebutuhan likuiditas valas terhadap kebutuhan pembayaran utang pemerintah, badan usaha milik negara (BUMN), dan swasta dengan meningkatkan kebijakan hedging agar tidak membebani sektor keuangan.