KOMPAS.com – Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Said Abdullah menyoroti capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,1 persen pada triwulan I-2024.
Said yang juga Ketua Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) ini mengatakan, International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga akhir tahun 2024 akan mencapai 5 persen.
“Capaian tersebut patut kita syukuri. Sebab bangsa yang tidak bersyukur berarti kufur nikmat,” ucap Said ,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Senin (6/7/2024).
Meski demikian, Said menekankan bahwa capaian tersebut masih belum cukup sebagai landasan yang kokoh untuk menuju status high-income country pada 2045.
Baca juga: Jokowi: IKN Akan Jadi Titik Pertumbuhan Ekonomi Baru...
Untuk mencapai tujuan tersebut, kata dia, diperlukan pertumbuhan ekonomi sebesar 6 sampai 7 persen setiap tahunnya.
Selain itu, Said juga membahas tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam konteks suku bunga dan kepercayaan bisnis.
“Indonesia memiliki suku bunga yang lebih tinggi, mencapai 6,25 persen. Namun tingkat kepercayaan bisnis yang hanya mencapai 14,11 poin, terendah dibandingkan dengan negara-negara sejawatnya, seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam,” imbuhnya Said yang juga Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P bidang Perekonomian ini.
Seperti diketahui, badai suku bunga yang kuat melanda beberapa wilayah dan berdampak pada kenaikan suku bunga di pasar negara berkembang.
Baca juga: Suku Bunga Bank Indonesia Buat Bank Bersaing Pasang Bunga Tinggi
Meskipun demikian, Thailand mempertahankan suku bunga rendah sebesar 2,5 persen, dengan indeks kepercayaan bisnis mencapai 48 poin.
Malaysia memiliki suku bunga 3 persen dan indeks kepercayaan bisnis sebesar 94 poin, sedangkan Vietnam mencatat suku bunga 4,5 persen dengan indeks kepercayaan bisnis sebesar 54 poin.
“Kenapa kepercayaan bisnis (Indonesia) rendah dibanding negara peers? Sebab kita belum bisa keluar dari berbagai problema structural, seperti ekonomi biaya tinggi, ketidakpastian kebijakan, birokrasi kompleks, rendahnya keterampilan tenaga kerja, dan isu-isu persepsi korupsi,” jelas Said.
Menurutnya, dengan kepercayaan bisnis yang sangat baik akan menjadi modal bagi pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dalam mengelola kebijakan makro, terutama terkait suku bunga dan nilai tukar.
Dalam laporan realisasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) pada semester 1-2024, pendapatan negara mencapai Rp 1.320,7 triliun atau naik 47 persen dari target APBN 2024.
Sementara itu, penerimaan perpajakan hanya mencapai 44,5 persen dari target atau lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Di sisi belanja negara, realisasi mencapai Rp 1.398 triliun atau 42 persen dari target APBN 2024.
Said mengapresiasi kedisiplinan bendahara negara dalam mengelola belanja negara yang sejalan dengan realisasi pendapatan negara pada 2024.
Meninjau laporan realisasi APBN semester 1-2024, Said menekankan perlunya pemerintah berhati-hati. Sebab, prognosis defisit APBN melebihi target yang telah ditetapkan untuk 2024.
Baca juga: Kian Melebar, Defisit APBN Juni 2024 Capai Rp 73,3 Triliun
Undang-undang (UU) APBN 2024 menetapkan defisit sebesar 2,29 persen dari PDB atau sekitar Rp 522,8 triliun. Namun perkiraan defisit hingga akhir tahun berpotensi mencapai 2,7 persen dari PDB setara dengan Rp 609,7 triliun.
“Kondisi ini disebabkan oleh potensi peningkatan belanja negara dari rencana semula sebesar Rp 3.325,1 triliun menjadi Rp 3.412,2 triliun,” jelas Said.
Terakhir, dalam konteks transisi peralihan pemerintahan, Said menyarankan agar proyek-proyek kejar tayang yang kurang signifikan untuk pertumbuhan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja dievaluasi ulang.
Langkah tersebut, kata Said, diperlukan untuk menjaga kesehatan ruang fiskal di tengah sentimen eksternal yang kurang menguntungkan dan untuk menghindari beban keuangan yang berkepanjangan bagi pemerintah yang akan datang.