KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), mengatakan bahwa perjuangan Indonesia melawan diskriminasi perdagangan internasional berada di jalur tepat.
Bahkan, pemerintah diminta untuk terus konsisten dalam menyuarakan kepentingan Indonesia di kancah global.
Untuk diketahui, Indonesia kini menghadapi diskriminasi perdagangan dari berbagai negara terkait kebijakan ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan nikel. Adapun produk CPO Indonesia ditolak karena minyak kelapa sawit dianggap tidak ramah lingkungan.
World Trade Organization ( WTO) pun menilai industri hilirisasi nikel Indonesia belum optimal sehingga belum waktunya untuk menutup ekspor barang mentah.
“CPO memang tekanannya besar. Indonesia harus konsisten memperjuangkan CPO, terutama pada sisi penetrasi ekspor. CPO dianggap sebagai sesuatu yang tidak ramah lingkungan. Sebagian bisa jadi benar, tapi ada juga motif tersembunyi dari negara yang menolak CPO,” ujar Faisal dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Sabtu (6/1/2023).
Baca juga: Selaraskan Langkah Bersama, Mentan Ajak Berbagai Pihak Perkuat Sektor Kelapa Sawit Indonesia
Begitu pula dengan nikel, lanjut Faisal, penolakan justru datang dari negara yang tidak mengimpor nikel mentah Indonesia, yaitu Uni Eropa.
Ia menilai, upaya pemerintah Indonesia selama ini sudah tepat. Namun, diperlukan penguatan terkait trade diplomacy guna melawan segala tuduhan tersebut.
“Kalau ada tuduhan yang benar, ya diperbaiki agar dalam berargumen di arbitrase Indonesia bisa mempertahankan kepentingan dari negara yang merasa kebijakan Indonesia bertentangan dengan WTO,” tambahnya.
Peraih gelar doktor ekonomi dari Universitas Queensland itu meyakini ada kepentingan memperjuangkan produk substitusi CPO dari negara-negara yang menentang kebijakan ekspor Indonesia.
Ia juga berpandangan terpadap motif tersembunyi dari argumen sawit yang tidak ramah lingkungan. Sebagai contoh, menjaga produk substitusi. Eropa sendiri mempunyai minyak bunga matahari dan minyak kacang kedelai.
Baca juga: Minyak Kelapa Sawit Makin Dibutuhkan pada 2050
Lebih dari itu, lanjut dia, ada pula upaya negara-negara maju untuk mencegah Indonesia naik kelas dengan menolak kebijakan ekspor manufaktur yang bisa memberikan nilai tambah lebih dibanding sekadar ekspor komoditas.
Faisal kemudian mencontohkan persaingan dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China beberapa tahun lalu.
China mulai dilihat sebagai ancaman karena penetrasi industri teknologinya semakin masif. AS pun membebankan pajak kepada barang-barang China yang dianggap bisa mengganggu pasarnya.
“China ingin naik kelas dengan tidak lagi ekspor barang bernilai tambah rendah. Namun, pada produk teknologi 5G, AS mencoba untuk menjaga dominasinya dengan menerapkan tarif. Jadi, itu hal yang umum terjadi ketika negara memanfaatkan platform internasional untuk mencegah negara lain naik kelas. Ironinya, itu justru dicontohkan oleh negara yang menyuarakan perdagangan bebas,” beber Faisal.
Spesifik untuk larangan ekspor bijih nikel, Faisal melihat Indonesia sedikit mengalami kerugian ketika hendak memulai kebijakan hilirisasi.
Baca juga: Model Hilirisasi Industri Kelapa Sawit Mampu Dorong Ekspor Produk Bernilai Tambah
Meski begitu, hilirisasi kini telah menjadi salah satu faktor penting yang membuat neraca perdagangan Indonesia terus surplus.
“Memang di awal 2020 ekspor sempat menurun karena larangan ekspor bijih nikel. Tidak lama, logam dasar Indonesia naik. Artinya, kerugiannya hanya jangka pendek karena hasil dari hilirisasi sudah mulai terasa tanpa menunggu beberapa tahun lagi,” ungkapnya.
Setali tiga uang dengan Faisal, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyoroti politik dagang negara-negara maju di balik gugatan produk Indonesia di WTO.
"Tentang WTO, diskriminasi, dan deforestasi, ini politik dagang. Tidak ada negara di dunia ini yang ingin lapaknya diambil negara lain. Ujung-ujungnya kita lihat ini main narasi saja, tapi substansi sama. Kenapa dibawa ke WTO karena industri mereka yang sudah dibangun tidak dapat lagi suplai bahan baku. Andaikan mereka dapat suplai sudah dengan harga mahal," kata Bahlil.
Ketika produksi, lanjut Bahli, akan kalah kompetitif harga dengan produksi yang dibangun di Indonesia.
Baca juga: Kementan Larang Kecambah Kelapa Sawit Dijual Online
“Kemudian, dia pakai lembaga dunia yang mengkaji kembali terhadap izin larangan ekspor komoditas ini. Menurut saya enggak bisa ditolerir," tambahnya.
Sementara itu, melalui diskusi Media Center Indonesia Maju pada Kamis (4/1/2024), Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan bahwa diplomasi ekonomi merupakan salah satu fokus kebijakan luar negeri Indonesia.
Ada dua fokus dalam diplomasi ekonomi, yaitu membuka pasar non-tradisional dan memerangi diskriminasi perdagangan terhadap produk-produk Indonesia.
Terkait fokus pertama, Retno mengungkap pesan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membuka pasar di negara-negara baru, seperti Afrika dan Uni Eropa. Lebih dari itu, Indonesia juga ingin memperkuat relasi ekonomi dengan banyak negara berkembang.
Ihwal fokus kedua, mantan Duta Besar Republik Indonesia (Dubes RI) untuk Belanda dan Norwegia itu menyatakan, seluruh diplomat turut bekerja keras untuk mendukung kebijakan hilirisasi dalam negeri.
"Diplomasi ekonomi juga kami gunakan untuk memerangi diskriminasi terhadap produk-produk Indonesia, misalnya kelapa sawit. Diplomasi ekonomi ini juga untuk hilirisasi industri," tegas Retno.