JAKARTA, KOMPAS.com — Debat ketiga Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 yang menghadirkan para calon presiden (capres), Minggu (7/1/2024), dinilai sudah menampilkan literasi rendah terkait informasi yang dikecualikan sebagaimana ketentuan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Padahal, pelanggaran atas ketentuan tersebut dapat berkonsekuensi pidana 3 tahun penjara dan denda Rp 20 juta.
“Literasi rendah ini terjadi pada KPU, moderator, dan juga capres tertentu. Ketika ada capres yang bersikukuh bahwa informasi pertahanan dibuka saja, yang oleh KPU dan moderator dibiarkan, saya sangat terkejut dan prihatin,” kata anggota Dewan Pakar Prabowo-Gibran, Dradjad H Wibowo, Rabu (17/1/2024).
Tema debat ketiga tersebut adalah pertahanan, keamanan, hubungan internasional, dan geopolitik. Dradjad berpendapat, Prabowo sebagai Menteri Pertahanan sudah benar ketika tidak mau menjawab apalagi membahas topik yang ditanyakan—bahkan didesak untuk dibahas—terkait data pertahanan itu.
“Beliau taat UU,” ujar Dradjad.
Belajar dari “insiden” di debat ketiga Pilpres 2024, Dradjad mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat aturan debat yang taat pada perintah UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61/2010, untuk penyelenggaraan debat keempat dan kelima Pilpres 2024.
Baca juga: Debat Ketiga Pilpres 2024 Pertontonkan Literasi Rendah tentang Informasi yang Dikecualikan
Terlebih lagi, debat keempat pada Minggu (21/1/2024) juga memungkinkan terjadinya kejadian serupa. Debat keempat Pilpres 2024 bakal menghadirkan para calon wakil presiden (cawapres). Tema yang diusung adalah pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup, sumber daya alam dan energi, pangan, agraria, masyarakat adat, dan desa.
“(Dua) regulasi itu mengatur 10 jenis informasi yang dikecualikan, termasuk informasi kekayaan alam Indonesia, (yang) menjadi rahasia negara,” tegas Dradjad yang juga adalah Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) ini.
Dalam debat ketiga, perdebatan yang paling mencuat adalah desakan kepada capres nomor urut 2, Prabowo Subianto, untuk membuka data pertahanan seperti minimum essential force (MEF). Ada juga pertanyaan dari salah satu kandidat kepada kandidat lain terkait MEF.
Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis, Soleman B Ponto, mengatakan, MEF adalah proses untuk modernisasi alat utama sistem pertahanan (alutsista) Indonesia.
“MEF dicanangkan Pemerintah Indonesia pada 2007 oleh (Menteri Pertahanan) Prof Dr Juwono Sudarsono, SH, MEF, yang dibagi menjadi tiga rencana strategis (pertahanan) hingga 2024,” ungkap Soleman.
Soleman pun menyebutkan, ketentuan soal MEF sebagai informasi publik yang dikecualikan untuk dibuka ke publik ini tertera lugas di Pasal 17 huruf c angka 3 UU Nomor 14 Tahun 2008.
“… yaitu, jumlah, komposisi, disposisi, atau dislokasi kekuatan dan kemampuan dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara serta rencana pengembangannya,” sebut dia.
Definisi MEF dipadankan dengan klausul Pasal 17 huruf c angka 3, rencana strategis hingga 2024 dalam MEF adalah rencana pengembangan. Lalu, lanjut Soleman, dalam MEF ada tiga komponen postur, yaitu kekuatan, gelar atau persebaran penempatan, dan kemampuan pertahanan.
Dipadankan dengan klausul Pasal 17 huruf c angka 3 maka kekuatan dalam MEF adalah jumlah, gelar atau persebaran penempatan adalah dislokasi kekuatan, sementara kemampuan punya padanan kata yang sama.
“Dengan demikian terbukti bahwa MEF termasuk informasi publik yang bila dibuka kepada publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara (sehingga dikecualikan), karenanya tidak dapat dibuka ke publik,” kata Soleman.
Menurut Soleman, informasi publik yang dikecualikan seperti MEF hanya boleh diketahui oleh orang yang berhak.
Pelanggar klausul tersebut terancam oleh ketentuan Pasal 54 ayat (2) UU KIP, yang berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf c dan huruf e, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).”
Baca juga: Prabowo Tak Beberkan Data soal MEF, Ganjar: Kalau Tak Siap, Jangan Berdebat
Berkaitan dengan debat ketiga Pilpres 2024, tim pemenangan salah satu paslon peserta Pilpres 2024 menyatakan, informasi soal MEF diperoleh dari situs Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Soleman mengatakan, Menteri Koordinator, Hukum, dan Keamanan beserta stafnya memang berhak mengakses data MEF. Namun, lanjut Soleman, mereka tidak berhak membukanya kepada publik.
Definisi MEF dan bunyi Pasal 17 huruf c ayat 3 UU KIP juga menepis dalih dari salah satu cawapres yang menyebutkan contoh rahasia negara terkait pertahanan adalah data orang desersi, strategi pertahanan, dan intelijen.
“Artinya beliau tidak tahu bahwa MEF itu termasuk informasi publik yang dikecualikan untuk dibuka ke publik dalam UU KIP. Sangat disayangkan beliau tidak jeli membaca Pasal 17 UU KIP,” tegas Soleman.
Lalu, ungkap Soleman, dua capres yang sebelumnya pernah menjadi gubernur pun tidak tercatat memiliki rekam jejak yang memberi mereka hak untuk mengakses, memperoleh, apalagi membuka data terkait MEF yang masuk kategori informasi yang dikecualikan berdasarkan UU KIP.
Pertanyaan spesifik tentang nilai ideal anggaran pertahanan, nominal belanja alutsista, dan capaian MEF, dari salah satu capres berlatar belakang gubernur kepada kandidat lain dengan latar belakang yang sama itu, kata Soleman, adalah bukti bahwa yang bersangkutan telah mengakses, memperoleh, dan membuka informasi yang dikecualikan untuk dibuka ke publik tersebut.
Desakan mereka berdua kepada capres lain yang kebetulan juga adalah Menteri Pertahanan (Menhan) untuk membuka data MEF, menjadi dugaan bukti berikutnya bahwa mereka memang telah mengakses informasi publik yang dikecualikan tersebut tanpa hak.
“Mereka tidak berkecimpung di bidang pertahanan negara. Dengan demikian, mereka tidak berhak mengakses dan memperoleh informasi tentang MEF, yang merupakan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf c, yaitu informasi yang bila dibuka kepada publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara,” ungkap Soleman.
Desakan untuk mengungkap data tentang pembelian alutsista pun, kata Soleman, dapat melanggar klausul Pasal 17 huruf e angka 1 UU KIP yang membahas informasi yang dikecualikan untuk dibuka ke publik tentang pembelian aset vital.
Menurut Soleman, telah terjadi keteledoran yang dilakukan oleh tim sukses pasangan calon peserta Pilpres 2024 tertentu dan KPU.
Dari tema yang ada, kata dia, masih ada banyak materi lain soal pertahanan dan keamanan negara yang dapat diperdebatkan, sebagai ancaman non-militer dan tidak masuk kategori informasi yang dikecualikan untuk dibuka ke publik.
“Seharusnya KPU membuat larangan agar MEF tidak dijadikan bahan debat. Timses paslon tertentu juga teledor karena tidak tahu bahwa MEF termasuk informasi publik yang bila dibuka ke publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara sehingga menjadi informasi yang dikecualikan untuk dibuka ke publik,” ungkap Soleman.
Sebaliknya, penolakan Prabowo Subianto sebagai capres nomor urut 2 di Pilpres 2024 sekaligus Menhan untuk menjawab semua pertanyaan terkait MEF disebut memperlihatkan ketelitian, pengetahuan, pemahaman, dan tanggung jawabnya atas informasi yang bila dibuka ke publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara tersebut.
“Beliau sudah tahu bahwa walaupun jabatannya sebagai Menhan tapi tetap tidak berhak untuk membuka ke publik informasi yang bila dibuka kepada publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara,” ujar Soleman.
Selain mengungkap dugaan telah terjadi pelanggaran UU KIP dengan konsekuensi pidana dan denda tersebut, Soleman berpendapat debat ketiga Pilpres 2024 patut menjadi pelajaran bagi seluruh rakyat Indonesia untuk selalu berhati-hati ketika berurusan dengan data terkait pertahanan dan keamanan.