KOMPAS.com – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) Fahira Idris menyatakan perlunya reformasi dalam sistem ketahanan bencana.
Menurutnya, alasan pertama adalah untuk memperkuat sistem dan respons peringatan dini. Sementara alasan kedua adalah fokus pada kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana.
"Respons peringatan dini kita masih perlu diperkuat lagi agar lebih terpadu, dan tanggap darurat bencana harus terintegrasi dengan sistem ketahanan kesehatan masyarakat," ujar Fahira dalam siaran pers yang diterima Kompas.com pada Sabtu (30/12/2023).
Selain itu, lanjut dia, pengurangan risiko bencana harus menjadi prioritas nasional maupun daerah.
Semua lembaga terkait dengan bencana tidak hanya perlu bersatu padu, tetapi juga harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan inovasi agar siap menghadapi bencana di semua tingkatan.
Baca juga: Perempuan, Pengetahuan Adat, dan Ketahanan Pangan
Pernyataan tersebut disampaikan Fahira sebagai tanggapan terhadap pembahasan Debat Calon Presiden (Capres)-Calon Presiden (Cawapres) Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang tidak memasukkan isu ketahanan bencana sebagai salah satu subtema.
Padahal, kata dia, Indonesia saat ini dan ke depan tidak hanya rawan terhadap berbagai jenis bencana alam, seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, angin topan, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan, tetapi juga sangat rentan terhadap berbagai ancaman bencana nonalam.
Fahira mencontohkan, seperti kebakaran hutan dan lahan yang disebabkan oleh manusia, kecelakaan transportasi, pencemaran lingkungan, serta epidemi dan wabah penyakit yang baru saja terjadi, yaitu pandemi Covid-19.
"Saya berharap dalam debat, semua cawapres memaparkan gagasannya soal reformasi sistem ketahanan bencana menuju Indonesia yang tangguh bencana," ujar Fahira Idris di Jakarta, Rabu.
Baca juga: 313 TPS di Karawang Rawan Bencana
Hal tersebut, lanjut dia, dikarenakan ketahanan bencana masih berkaitan dengan subtema pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup.
Menurut Fahira, isu tersebut sangat penting untuk dibahas, mengingat Indonesia tidak hanya rentan terhadap ancaman bencana alam, tetapi juga bencana non-alam, termasuk wabah penyakit.
“Bahkan, beban bencana bisa semakin besar mengingat krisis iklim yang telah menyebabkan kekeringan, kebakaran hutan, topan, atau badai telah melanda Indonesia,” jelas Fahira yang juga merupakan calon legislatif (caleg) DPD RI Daerah Pemilihan (Dapil) Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta pada Pemilu 2024 tersebut.
Pada kesempatan tersebut, Fahira mengatakan bahwa tingginya frekuensi bencana alam di Indonesia dapat diukur melalui data yang disajikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Baca juga: BNPB Siapkan 3 Skema Penanggulangan Bencana Banjir di Kabupaten Bandung
“Dalam rentang waktu 16 hari pada awal 2024 (1-16 Januari 2024), Indonesia telah mengalami 94 bencana hidrometeorologi, terutama banjir,” ucapnya.
Selain itu, lanjut dia, BNPB juga mencatat bahwa secara rata-rata, terdapat 15 hingga 17 bencana alam setiap harinya yang melanda Indonesia sepanjang 2023.
Selain menimbulkan korban jiwa manusia, bencana juga menyebabkan kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dampak psikologis, dan berdampak pada kerugian ekonomi.
“Menurut catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada 2021, rata-rata kerugian akibat bencana di Indonesia mencapai Rp 22,85 triliun,” imbuh Fahira.
Baca juga: Mataram Pakai PJU Tenaga Surya, Upaya Mitigasi Bencana dan Efisiensi Anggaran
Seperti diketahui, Indonesia sesuai posisi geografis diberkahi dengan kondisi alam yang memiliki berbagai keunggulan dibanding banyak negara lain.
Namun, di sisi lain, posisi Indonesia terletak di wilayah yang memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang rawan bencana.
“Oleh karena itu, bencana akan terus menjadi tantangan besar bagi bangsa ini,” ucap Fahira.