KOMPAS.com - Pembentukan kawasan aglomerasi untuk menyinkronkan pembangunan di Daerah Khusus Jakarta (DKJ) dengan daerah sekitar menjadi salah satu isu utama yang dibahas dalam Rancangan Undang-undang DKJ.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) daerah pemilihan (dapil) Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) Fahira Idris mengatakan, kawasan aglomerasi merupakan kawasan yang memiliki keterkaitan fungsional.
"Kawasan aglomerasi bisa yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi, sekalipun berbeda dari sisi administrasi. Kawasan ini bisa dijadikan sebagai satu pusat pertumbuhan ekonomi nasional berskala global," tuturnya lewat siaran pers, Jumat (15/3/2024).
Menurutnya, transportasi publik akan menjadi salah satu bahasan penting terkait kawasan aglomerasi dalam RUU DKJ. Pasalnya, kemacetan di Jakarta harus segera dicarikan solusinya agar tidak memunculkan kerugian ekonomi.
“RUU DKJ ini diharapkan mampu mempercepat hadirnya transportasi publik yang setara dan terintegrasi antara Jakarta dan daerah sekitarnya," kata Fahira.
Kondisi tersebut, sambung dia, sesuai dengan Peraturan Presiden (perpres) Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek).
"Pada 2029, 60 persen pergerakan warga Jabodetabek sudah harus menggunakan angkutan umum perkotaan. Target ini harus bisa dicapai jika ingin Jakarta dan sekitarnya menjadi kota-kota berkelas dunia," sebutnya.
Dengan populasi lebih dari 30 juta jiwa, Fahira mengatakan, saat ini Jabodetabek sudah menjelma menjadi wilayah aglomerasi terbesar di dunia. Ketergantungan antarwilayah pun menjadikan pergerakan masyarakat semakin besar.
Baca juga: Peringati Hari Perempuan Sedunia, Fahira Idris: “Dunia Akan Lebih Sejahtera Jika Perempuan Berdaya”
"Diperkirakan saat ini jumlah pergerakan di Jabodetabek mencapai 88,2 juta trip per hari. Di dalam Jakarta sebesar 21,2 juta trip per hari, commuter 6,4 juta trip per hari, dan suburban sebanyak 60,6 juta trip per hari," ungkapnya.
Meski demikian, Fahira menyayangkan bahwa dari tingginya mobilitas itu, hanya sekitar 30 persen masyarakat yang menggunakan transportasi umum. Sisanya, 70 persen, memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi.
"(Kondisi itu) berdampak pada kemacetan di Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya. Bisa memengaruhi kondisi ekonomi, meningkatkan pencemaran udara, serta menurunkan produktivitas warga Jabodetabek," jelasnya.
Untuk itu, Fahira meminta agar pemerintah memastikan bahwa RUU DKJ mengatur agar transportasi publik di Jabodetabek bisa digunakan untuk membantu mobilitas masyarakat.
Baca juga: Mendagri Harap Pembahasan RUU DKJ Rampung Hari Ini, Sebut Pemerintah-DPR Sudah Sepakat
"Semoga, sistem transportasi publik di Jabodetabek bisa setara (dengan) yang ada di Jakarta, sehingga ke depan Jakarta bisa memainkan perannya sebagai kota global. Sementara kota-kota sekitarnya bisa berfungsi sebagai pusat perdagangan, kegiatan layanan jasa keuangan, serta kegiatan bisnis nasional, regional, dan global," harap Fahira.
Sebagai informasi, dalam RUU DKJ, kawasan aglomerasi mencakup minimal wilayah Provinsi DKJ, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi.