KOMPAS.com - Kebijakan baru yang mengatur penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menjadi sorotan publik.
Kebijakan tersebut memicu berbagai spekulasi dan pertanyaan di kalangan masyarakat terkait implikasi serta dampaknya terhadap akses layanan kesehatan.
Menanggapi polemik tersebut, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) dari daerah pemilihan (dapil) Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta Fahira Idris menyuarakan pentingnya penjelasan yang komprehensif terkait penerapan KRIS.
Ia menyoroti adanya asumsi mengenai penghapusan kelas 1, 2, dan 3 dalam program JKN oleh BPJS Kesehatan serta perubahan tarif yang memunculkan kekhawatiran di kalangan masyarakat.
Baca juga: Kelas BPJS Kesehatan Dihapus, Kemenkes Sebut KRIS Sudah Bisa Diterapkan
“(Butuh) penjelasan langsung dari narasumber yang paling kompeten, seperti Menteri Kesehatan (Menkes) dan Direktur Utama (Dirut) BPJS Kesehatan dalam forum khusus,” ujar Fahira di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (14/5/2024).
Ia berharap, penjelasan yang komprehensif dapat menyampaikan tujuan di balik penerapan KRIS serta mengurai berbagai isu yang mengemuka.
Fahira juga menekankan pentingnya menguraikan secara komprehensif tujuan di balik penerapan KRIS agar masyarakat memahami bahwa kebijakan ini merupakan langkah maju untuk meningkatkan kualitas layanan BPJS Kesehatan.
Menurutnya, perhatian publik terhadap segala hal yang terkait dengan BPJS Kesehatan dan JKN merupakan hal yang positif.
Baca juga: Program JKN Indonesia Dipuji Organisasi Kesehatan Dunia
Pasalnya, hal tersebut mengindikasikan tingginya rasa memiliki dan kepedulian masyarakat Indonesia terhadap program JKN, yang merupakan program jaminan kesehatan dengan jumlah kepesertaan terbesar di dunia.
Namun, untuk memastikan transparansi dan pemahaman yang baik, sangat diperlukan manajemen komunikasi publik yang responsif.
Oleh karena itu, Fahira menegaskan bahwa setiap perubahan kebijakan terkait JKN harus melibatkan pemangku kepentingan dan dilengkapi dengan manajemen komunikasi publik yang efektif.
Kualitas informasi yang disampaikan oleh spokesperson utama diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang KRIS. Hal ini harus diutarakan dengan pesan dan penjelasan yang senada atau tunggal dan disebarluaskan lewat sebuah forum khusus.
Baca juga: Pemilik Sambelku Ledak Ungkap Strategi Hadapi Kenaikan Harga Cabai
Selain itu, Fahira juga menyoroti pentingnya merumuskan strategi menghadapi tantangan yang mungkin muncul selama implementasi KRIS.
“Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan BPJS Kesehatan perlu untuk memetakan apa saja yang perlu diluruskan terkait KRIS (kepada publik) serta merumuskan jawaban atas keraguan yang muncul terkait kebijakan ini,” imbuhnya ujarnya dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (14/5/2024).
Sebagai informasi, penerapan fasilitas ruang perawatan rumah sakit KRIS dalam program JKN oleh BPJS Kesehatan menjadi salah satu ketentuan yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang JKN.
Baca juga: Jokowi Puji Pelayanan Kesehatan di RSUD Baharuddin Kabupaten Muna
KRIS sendiri difungsikan sebagai standar minimum pelayanan rawat inap yang diterima oleh peserta JKN. Fasilitas ini akan diterapkan secara menyeluruh untuk rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan paling lambat pada 30 Juni 2025.