KOMPAS.com – Dalam beberapa dekade terakhir, banyak negara berkembang telah merasakan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Namun, kemajuan ini sering kali disertai dengan kerusakan lingkungan yang parah. Perbaikan standar hidup yang diperoleh harus ditebus dengan biaya lingkungan yang tinggi, yang kini mulai dirasakan oleh banyak negara.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) dari daerah pemilihan (dapil) Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta Fahira Idris menyatakan bahwa kerusakan lingkungan yang semakin parah di berbagai belahan dunia menunjukkan perlunya para pemimpin dunia meninjau kembali hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
“Kerusakan lingkungan hidup pasti akan membuat pertumbuhan ekonomi menjadi tidak berkelanjutan,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Rabu (5/6/2024).
Menurut Fahira, pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam (SDA) yang tidak bijak hanya akan mempercepat penyusutan sumber daya dan dengan mudah mengembalikan krisis pangan dan energi yang pernah terjadi dua dekade lalu.
Ia menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak boleh merusak lingkungan hidup.
Menurutnya, ekstraksi SDA yang berlebihan, polusi udara dan air, deforestasi, serta konversi lahan untuk industri dan perumahan telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang luas dan menyengsarakan umat manusia.
“Dunia menjadi semakin rentan terhadap berbagai krisis, mulai dari iklim, pangan, energi, hingga wabah penyakit. Tidak ada gunanya ekonomi tumbuh tinggi kalau kualitas hidup manusia semakin menurun," ujar Fahira.
Ia menyatakan bahwa dunia saat ini tidak hanya mengalami perubahan iklim, tetapi telah memasuki tahap krisis iklim.
Baca juga: Gelombang Panas di Filipina Tak Mungkin Terjadi Tanpa Krisis Iklim
Krisis tersebut berdampak besar pada sektor pangan dan menyebabkan bencana alam yang lebih sering terjadi, seperti banjir dan kekeringan, yang menghancurkan infrastruktur dan mengurangi kemampuan ekonomi dunia untuk pulih dan berkembang.
“Oleh karena itu, pada momentum Hari Lingkungan Hidup Sedunia atau World Environment Day (WED) ini, penting untuk memasukkan krisis iklim dalam perencanaan ekonomi, termasuk di Indonesia,” ucap Fahira.
Menurutnya, semua negara di dunia perlu mengadopsi pendekatan pembangunan berkelanjutan untuk mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan hidup.
Artinya, kata Fahira, pembangunan harus mengedepankan pemanfaatan sumber daya secara efisien, investasi dalam energi terbarukan, dan mengimplementasikan kebijakan yang ketat untuk mengurangi polusi dan melindungi ekosistem.
Baca juga: Wajah Sering Terpapar Polusi, Wajib Double Cleansing!
Keseimbangan tersebut juga bisa tercapai dengan penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelanggaran lingkungan.
"Teknologi hijau dan praktik pertanian berkelanjutan harus diadopsi secara luas untuk memastikan penggunaan SDA yang lebih efisien,” imbuh Fahira.
Selain itu, lanjut dia, peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan, seperti matahari, angin, dan bioenergi, sangat penting untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan mengurangi ketergantungan pada sumber daya yang tidak terbarukan.
“Karena lingkungan hidup adalah isu global, maka kerjasama internasional diperlukan untuk menangani krisis iklim dan kerusakan lingkungan lintas batas negara harus semakin intensif dan berkemajuan," jelas Fahira.