KOMPAS.com – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) daerah pemilihan (dapil) Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta Fahira Idris menyoroti empat poin penting yang perlu diperhatikan dalam aturan pembatasan akun media sosial bagi anak.
Ia menegaskan bahwa kebijakan tersebut harus dirancang agar memberikan perlindungan maksimal tanpa menghambat akses anak terhadap informasi yang edukatif.
"Ada empat aspek utama yang harus diatur agar regulasi ini efektif. Pertama, batas usia yang jelas dan verifikasi umur yang ketat," ujar Fahira yang juga dikenal sebagai aktivis perlindungan anak, Kamis (6/2/2025).
Menurutnya, aturan tersebut harus mewajibkan platform medsos menerapkan teknologi verifikasi umur yang andal untuk memastikan bahwa pengguna berusia di atas batas minimum yang ditetapkan, misalnya 16 atau 18 tahun.
Baca juga: Polda Metro Jaya Luncurkan Media Sosial untuk Layanan Pengaduan Masyarakat
Langkah tersebut bertujuan untuk mencegah anak-anak mengakses media sosial dengan identitas palsu.
“Platform yang tidak mematuhi aturan ini harus dikenakan sanksi tegas, seperti denda besar atau pembatasan operasional. Kebijakan serupa telah diterapkan di Australia, di mana perusahaan media sosial dapat dikenai denda besar jika melanggar regulasi perlindungan anak,” jelas Fahira.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, aspek kedua adalah peran orangtua dalam pengawasan digital.
Regulasi tersebut, sebut Fahira, juga harus mendorong peran aktif orangtua dalam mendampingi anak saat mengakses internet.
Baca juga: [HOAKS] Bantuan Kuota Internet atas Nama Kemendikbudristek
“Pemerintah perlu menyediakan pelatihan literasi digital bagi orangtua agar mereka lebih siap dalam memantau dan membimbing anak-anak di dunia maya. Dengan pemahaman yang lebih baik, orangtua dapat membantu anak-anak menggunakan internet secara aman dan bertanggung jawab,” imbuhnya.
Fahira berharap aturan tersebut juga dapat mendorong lebih banyak konten digital edukatif yang ramah anak.
Penyediaan konten digital ramah anak merupakan aspek ketiga yang harus diatur agar regulasi Kemkomdigi berjalan efektif.
“Konten tersebut bisa berupa video pembelajaran, permainan interaktif yang mengembangkan keterampilan, serta cerita bergambar yang mendidik,” jelas Fahira.
Baca juga: Menkomdigi Dorong UMKM Melek Digital, Shopee Hadirkan Pelatihan Literasi Digital
Adapun aspek keempat adalah penguatan literasi digital di sekolah. Selain orangtua, sekolah juga harus dilibatkan dalam program literasi digital untuk anak-anak.
Pemerintah perlu memasukkan kurikulum yang mengajarkan keamanan digital, etika daring, serta cara memanfaatkan internet secara positif sejak usia dini.
Fahira juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara perlindungan dan hak anak untuk berekspresi serta mengakses informasi yang bermanfaat.
"Aturan ini harus tetap memungkinkan anak-anak untuk belajar dan mengembangkan kreativitas mereka di internet, tetapi dengan pendampingan orangtua serta akses yang lebih aman melalui akun yang telah disaring kontennya," tuturnya.
Baca juga: Anak yang Ibunya Dibunuh dan Jasadnya Dikubur di Septic Tank Jalani Tes DNA
Dalam era digital yang berkembang pesat, media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Namun, penggunaan yang tidak terkontrol membawa risiko serius bagi anak-anak, seperti paparan konten negatif, cyber bullying, eksploitasi seksual daring, serta kecanduan gawai.
Menurut Fahira, rencana pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) untuk membatasi anak-anak memiliki akun media sosial sendiri adalah langkah tepat untuk melindungi generasi muda dari bahaya dunia digital.
"Tanpa kontrol dan pengawasan yang ketat, anak-anak bisa dengan mudah mengakses konten negatif seperti pornografi, kekerasan, serta materi berbahaya lainnya," jelasnya.
Selain itu, penggunaan media sosial yang berlebihan juga berisiko menyebabkan kecanduan gawai, yang dapat berdampak pada gangguan tidur, kecemasan, serta penurunan prestasi akademik.