KOMPAS.com – Anggota Dewan Perwakilan Daerah ( DPD) RI sekaligus aktivis perempuan Fahira Idris mengecam keras kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis ( PPDS) Universitas Padjadjaran terhadap anak dari pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat.
Fahira menegaskan bahwa tindakan kekerasan seksual tersebut merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Tak hanya karena mencederai korban secara fisik dan psikis, tindakan itu juga menodai tempat yang seharusnya menjadi ruang penyembuhan.
"Saya kehilangan kata-kata, bagaimana bisa, seseorang yang seharusnya menjadi pelindung dan penyelamat nyawa, justru menjadikan posisi dan aksesnya sebagai alat untuk melakukan kejahatan. Dugaan pemerkosaan oleh dokter PPDS ini adalah kejahatan luar biasa,” ujar Fahira dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Minggu (13/4/2025).
Dorong penanganan komprehensif dan hukuman maksimal
Senator asal DKI Jakarta itu juga menekankan bahwa penanganan kasus harus dilakukan secara komprehensif.
Ia mengapresiasi langkah kepolisian yang mendalami kemungkinan adanya lebih dari satu korban. Apalagi, muncul fakta bahwa telah ada korban lain.
Menurut Fahira, hal tersebut menunjukkan indikasi kuat bahwa pelaku merupakan seorang predator seksual.
Baca juga: LPSK Siap Lindungi Korban Pemerkosaan oleh Dokter PPDS Anestesi Unpad-RSHS
“Seorang predator seksual bertindak dengan sadar, berulang, dan sistematis memanfaatkan jabatannya untuk melancarkan aksinya,” tegasnya.
Fahira juga menekankan bahwa jika terbukti bersalah, tersangka harus dijerat dengan pasal berlapis berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan undang-undang lain yang relevan.
Ia menambahkan, jika perbuatan dilakukan secara berulang dan melibatkan banyak korban, pelaku dapat dijerat dengan Pasal 64 KUHP mengenai perbuatan pidana berulang dan dijatuhi hukuman paling berat.
"Tidak boleh ada celah hukum yang menguntungkan pelaku," ungkapnya.
Dalam pernyataannya, Fahira juga menolak keras penerapan pendekatan restorative justice (RJ) dalam kasus tersebut. Menurutnya, pendekatan damai atau mediasi tidak relevan untuk kejahatan luar biasa, seperti kekerasan seksual, terlebih terhadap anak-anak yang merupakan kelompok rentan.
“Keadilan bagi korban harus ditegakkan di pengadilan, bukan di ruang mediasi. Jika pendekatan RJ digunakan dalam kasus ini, maka akan menjadi preseden buruk dan melecehkan rasa keadilan publik,” ujar Fahira.
Baca juga: Dokter Priguna Tak Bisa Lagi Praktik Seumur Hidup, PPDS Unpad di RSHS Dibekukan
Lebih lanjut, Fahira menyerukan agar publik bersama-sama mengawal proses hukum kasus itu hingga tuntas. Ia juga mendorong adanya reformasi sistem pendidikan dan rekrutmen profesi medis agar kasus serupa tidak terjadi di masa mendatang.
“Kita harus bersama-sama mengawal proses hukum kasus ini sampai tuntas, memastikan pelaku menerima hukuman maksimal. (Saya juga) mendesak reformasi dalam sistem pendidikan dan rekrutmen profesi medis agar kasus seperti ini tidak pernah terulang lagi,” kata Fahira.