KOMPAS.com - Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto berharap agar pada kuartal keempat 2020, sektor korporasi di Indonesia sudah kembali menjadi stimulan perekonomian nasional.
Hal itu terkait kondisi perekonomian Indonesia pada kuartal kedua tahun ini yang minus, sehingga diharapkan mulai membaik pada kuartal ketiga.
“Adanya jaringan pengaman sosial sendiri diharapkan menjadi atau dapat menjaga demand dan spending dari masyarakat,” kata Airlangga dalam keterangan tertulis.
Pernyataan itu ia sampaikan saat seminar online nasional bertajuk Strategi Pemerintah Hadapi Ancaman Gelombang Kedua Corona, Jumat (10/07/2020).
Airlangga melanjutkan, kondisi seperti itu diharapkan bisa mengangkat pertumbuhan ekonomi, sehingga pada 2021, pemulihan ekonomi nasional bisa benar-benar terjadi.
Baca juga: Airlangga Tegaskan Penguatan Infrastruktur Digital Mutlak Dilakukan
Pada kesempatan yang sama, Rektor Universitas Paramadina Firmanzah mengatakan bahwa rasio utang Indonesia saat ini dinilai masih dalam kondisi aman.
Meski demikian, ia menilai kondisi tersebut harus tetap diwaspadai karena pandemi Covid-19 membuat beberapa indikator ekonomi nasional turun.
"Data Dirven Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Pembiayaan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan adanya pelebaran defisit keuangan Indonesia," ujar Firmanzah.
Pandemi Covid-19 pun berpotensi meningkatkan rasio utang negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Baca juga: Februari 2020, Utang Indonesia Tembus Rp 6.376 Triliun
Dari Kemenkeu menunjukkan, rasio utang Indonesia awalnya di angka 31,8 persen. Namun, saat ini diprediksi angka itu bisa naik menjadi 36 persen terhadap PDB Indonesia. Bank Dunia sendiri mencatat kemungkinan rasio itu di kisaran 37 persen.
“ Angka itu masih jauh di bawah rasioyang ditetapkan pemerintah, yakni tidak boleh melebihi angka 60 persen dari PDB nasional,” ujar Firmanzah.
Memang ada beberapa indikator lain, seperti dept service ratio (DSR) atau rasio utang dan seberapa besar hasil ekspor untuk pembiayaan utang luar negeri.
"Nah, angka DSR Indonesia dari Bank Indonesia menurut data terakhir ada di angka 27,9 persen. Biasanya menggunakan ukuran angka 25 persen saja itu sudah berisiko. Tapi ini bukan dalam koridor berbahaya,” sambung Firmanzah.
Tax ratio atau persentase penerimaan pajak terhadap PDB juga menjadi perhatian dalam kondisi saat ini. Pada 2015, tax ratio Indonesia adalah 10,76 persen.
Pada 2019, tax ratio ada di angka 9,76 persen dan tahun 2020, diperkirakan tax ratio nasional berada di bawah 9 persen.
“Ini berdampak pada kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita untuk membayar pokok dan cicilan utang luar negeri,” kata Firmanzah.
Ia melanjutkan, jika melihat data APBN Indonesia tahun 2020, total anggaran yang dialokasikan untuk pembayaran pokok dan bunga utang negara adalah sekitar Rp 644 triliun.
Baca juga: Tingkatkan Tax Ratio, Menkeu Ingin Bayar Pajak Lebih Mudah dari Beli Pulsa
“Ini jumlah yang besar bagi APBN dan perlu menjadi salah satu pertimbangan terhadap kemampuan kita untuk membayar pokok dan bunga utang,” ujar Firmanzah.
Menurut dia, pemerintah Indonesia bisa bersyukur, Bank Indonesia (BI) bersedia melakukan burden sharing, pembelian surat berharga Indonesia.
“Ada sekitar Rp 397 triliun surat SBN kita yang akan diterbitkan pemerintah dan akan dibeli atau diserap Bank Indonesia dengan suku bunga 0 persen,” sambung Firmanzah.
Selain itu, ada pula dari sektor non publik sekitar Rp 277 triliun yang ditanggung BI, serta sekitar Rp 35,9 triliun beban bunga dan sisanya yang ditanggung pemerintah.
Baca juga: Sri Mulyani: Presiden Sudah Teken Perpres Perubahan APBN
Firmanzah menilai, data tersebut menyatakan utang Indonesia saat ini tidak dalam kondisi merah atau membahayakan.
“Hanya, utang kita juga tidak dapat dikatakan dalam kondisi super aman, melainkan tetap patut diwaspadai,” imbuh Rektor Universitas Paramadina itu.