KOMPAS.com – Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi mengaku heran pemerintah tidak bertindak cepat untuk mengatasi kenaikan harga kedelai yang setiap tahun terjadi di Indonesia.
Padahal, kata dia, kedelai adalah bahan pokok untuk kebutuhan dan dinikmati puluhan juta orang di Indonesia.
Kenaikan harga itu pun membuat sejumlah pedagang tempe dan tahu di berbagai daerah melakukan aksi mogok dan membuat masyarakat kesulitan mendapatkan stok makanan tersebut.
“Lagi-lagi kita ini selalu aneh. Kenapa, sih, kalau berbicara kebutuhan publik yang begitu luas, menyangkut perut puluhan juta rakyat Indonesia, ya ngeluarin subsidi, mengintervensi pasar dengan membayar selisih harga pasar kedelai dunia. Ini kenapa enggak mau cepat dilakukan,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (25/2/2022).
Dedi mempertanyakan mengapa pemerintah selalu berargumen dengan mekanisme pasar.
Menurutnya, logika tersebut harus segera diubah. Sebab publik tidak sepenuhnya mengerti berbagai hal yang berkaitan dengan mekanisme pasar.
Baca juga: Jamin Ketersediaan Kedelai, Kementan Fasilitasi Pengembangan Lahan Pertanian di Grobogan
“Publik hanya ingin makan. Gizi yang paling bisa didapat mereka adalah protein dari tahu tempe. Kalau itu saja mereka tidak kebeli masa masyarakat harus makan dengan garam lagi,” katanya.
Dedi menambahkan, pihaknya tidak ingin kedelai selalu menjadi isu tahunan yang tak ada habisnya. Dia menilai, pemerintah seharusnya bisa melakukan langkah cepat dengan memberi subsidi harga kedelai.
Untuk jangka panjang, lanjut pria yang akrab disapa Kang Dedi itu, pemerintah bisa memberi subsidi pertanian untuk petani kedelai agar tidak selalu merugi.
“Kita jujur-jujuran saja, ada di antara kita yang bahagia dengan semakin tingginya angka impor. Semakin impor tinggi mereka bahagia, semakin tinggi produksi dalam negeri mereka tidak bahagia."
“Impor itu kan hitungnya gampang, beli di luar sekian, jual di sini sekian, sudah ada selisih untung. Berbeda dengan tanam sendiri yang susah terima untungnya,” bebernya.
Baca juga: Usulan Subsidi untuk Redam Harga Kedelai, Cips: Tidak Akan Efektif
Lebih lanjut, Dedi turut berkomentar mengenai mahalnya harga kedelai yang berimbas pada kenaikan harga tempe dan tahu. Menurutnya, hal itu akan tetap terjadi kalau harga kedelai masih tinggi.
Bahkan, lanjutnya, kondisi itu akan tetap sama meski pemerintah memberikan stimulus berupa bantuan permodalan, gas, listrik, atau bangunan harga. Sebab, stimulus tersebut akan tetap dianggap tidak ada.
“Sering kali bantuan itu tidak semua akan mendapat bantuan. Kemudian yang kedua, bantuan tidak bisa dibaca sebagai regulasi pasar. Jadi, menurut pandangan saya, walau itu mekanisme pasar, tetap pemerintah harus intervensi bagaimana harga kedelai turun,” katanya.
Politisi Partai Golkar itu pun menegaskan, kedelai harus lebih dulu tersedia karena harganya tidak mungkin turun jika barangnya tidak tersedia.
Baca juga: Harga Kedelai Naik, Perajin Tahu di Depok Jual Ampas Sisa Produksi Buat Tambahan Ongkos Produksi
"Hal itu sudah menjadi kebiasaan di Indonesia bahwa pedagang atau produsen di level terkecil sampai besar jika mendapat stimulus dari pemerintah tidak pernah berimbas pada konsumen," imbuhnya.
Namun, jika ada kesusahan, pedagang atau produsen akan “curhat” hingga berpengaruh ke konsumen.
Dengan begitu, kata Dedi, pemerintah harus tetap mengintervensi harga kedelai dibanding dengan memberikan stimulus.
“Kalau tidak diintervensi harga kedelai pasti mahal. Kalau harga kedelai mahal walaupun listrik dibantu, gas dibantu, bangunan dibantu tetap tahu tempe akan mahal,” terangnya.
Sebab, menurutnya, bantuan tersebut tidak akan diakui pengusaha sebagai komponen untuk menurunkan harga produksi.
Baca juga: Ini Biang Kerok Petani Ogah Menanam Kedelai Lokal
Dedi menilai, masyarakat Indonesia memang sudah terbiasa dengan kenaikan harga. Dari rata-rata kasus, masyarakat tidak pernah protes harga naik asal barang tetap tersedia.
Berbeda dengan pedagang atau produsen yang kerap protes karena tidak mampu lagi menjual barang kepada masyarakat.
“Sekarang ini kan yang protes bukan pembeli, yang protes itu para produsen bahwa tidak punya lagi kemampuan untuk menjual kepada warga yang mayoritas pelanggan tahu tempe adalah kelas menengah ke bawah dan mereka nggak tega,” ucapnya.
Dedi menambahkan, Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) perlu duduk bersama untuk merumuskan langkah jangka pendek dan jangka panjang dalam mengatasi isu tahunan kedelai.
Mantan Bupati Purwakarta itu pun mengimbau agar setiap kementerian tidak memiliki visi yang berbeda sehingga malah merugikan masyarakat.
Tak hanya dua kementerian itu saja, Dedi juga meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mulai menyusun visi terkait pembangunan pertanian di Indonesia.
Baca juga: Upaya Kementan Cukupi Kebutuhan Kedelai lewat Pengembangan 52.000 Ha Lahan di Grobogan
Dengan begitu, Kemenkeu memiliki kebijakan yang memberikan perlindungan terhadap petani ke depannya.
“Yang ditunggu masyarakat saat ini harga tahu tempe turun. Itu harus dimulai dari harga kedelai yang turun. Apa pun caranya, pemerintah pasti tahu bagaimana menurunkan harga kedelai."
“Agar tidak terjadi lagi perilaku kita seperti keledai, tidak boleh lagi peristiwa tahun sekarang harga kedelai berdampak pada kenaikan tahu tempe terjadi lagi pada tahun depan. Karena hanya keledai yang terperosok ke lubang yang sama,” paparnya.