KOMPAS.com - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Komisi VII dari Partai Golongan Karya (Golkar) Lamhot Sinaga mengatakan bahwa rencana pengurangan kuota bahan bakar minyak (BBM) subsidi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) sangat relevan dan harus segera dilakukan.
Sebab, kata dia, BBM subsidi akan sangat membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
“Jika subsidi terus bertambah hingga mencapai Rp 600 triliun, sementara target pendapatan Rp 2.266,2 triliun, artinya lebih dari 26 persen anggaran pemerintah hanya untuk beli BBM,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang Kompas.com terima, Sabtu (13/8/2022).
Meski menyetujui rencana pengurangan kuota BBM subsidi, ia enggan mengiyakan penghapusan subsidi. Hal ini karena masih banyak pihak yang membutuhkan kehadiran BBM subsidi. Utamanya, masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah.
Sebagai upaya lebih lanjut, Lamhot meminta pemerintah agar mempertimbangkan usulan BBM jenis Pertalite yang dikhususkan untuk pengguna sepeda motor dan solar untuk kendaraan angkutan.
Selain usulan itu, ia juga meminta pemerintah untuk memperketat pengawasan dalam pendistribusian BBM subsidi.
“Sudah tidak boleh ada kesempatan bagi masyarakat mampu untuk menggunakan BBM subsidi. Jika perlu, dibuat penalti atau hukuman bagi masyarakat mampu yang menyalahgunakan subsidi,” ucap Lamhot.
Oleh karenanya, lanjut dia, pemerintah sebaiknya segera melakukan penyesuaian harga BBM subsidi dengan pendekatan yang moderat.
Pendekatan moderat yang dimaksud adalah kolaborasi pemerintah dan masyarakat untuk menyelamatkan keuangan negara.
Baca juga: Curhat Sri Mulyani Kelola Keuangan Negara: Cobaan Silih Berganti, Godaan Selalu Ada...
“Saya mengusulkan besar subsidi BBM per liter ditanggung pemerintah sebesar 75 persen saja. Sisanya bisa dengan penyesuaian harga BBM subsidi,” imbuh Lamhot.
Pemerintah, lanjut dia, mensubsidi solar sebesar Rp 7.800 per liter dan menjadikan harga solar sebesar Rp 5.150 per liter. Dengan penyesuaian besar subsidi, harga solar sangat memungkinkan menjadi Rp 7.100.
Kemudian, subsidi Pertalite dari pemerintah sebesar Rp 4.500 per liter dari harga yang diterima konsumen Rp 7.650 per liter. Maka penyesuaian harga Pertalite bisa menjadi Rp 8.875 per liter.
Dengan penyesuaian harga tersebut, Lamhot meyakini, negara bisa menghemat APBN sebesar Rp 150 triliun.
“Ditambah pembatasan kuota subsidi, maka pemerintah bisa memberikan subsidi langsung bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan,” jelas Lamhot.
Baca juga: Pertamina Prediksi Elpiji 3 Kg Bakal Kembali Melebihi Kuota Subsidi
Penyesuaian harga tersebut, menurutnya, masih bisa diterima masyarakat penerima subsidi karena cukup terjangkau jika dibandingkan harga BBM nonsubsidi.
Terlebih, perbedaan harga yang terlalu jauh antara BBM subsidi dan nonsubsidi juga menjadi daya tarik masyarakat mampu untuk mengkonsumsi BBM subsidi.
Pada kesempatan tersebut, Lamhot juga menyoroti kenaikan harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP).
Menurutnya, harga tahunan minyak dunia dan peningkatan kebutuhan BBM subsidi masyarakat sudah sangat membebani anggaran pemerintah yang saat ini diketahui sudah menyentuh angka Rp 502 triliun.
“Pemerintah memang berada dalam posisi yang sangat sulit saat ini. Pilihannya antara mengalirkan anggaran subsidi BBM yang dampaknya akan menjadi beban berat bagi APBN atau membatasi penggunaan BBM subsidi di tengah masyarakat atau menaikkan harga BBM subsidi untuk mengurangi beban APBN. Setiap pilihan ada risikonya”, ucap Lamhot.
Baca juga: Sudah Mendesak, tapi Duit APBN untuk Kereta Cepat Tak Kunjung Cair
Lebih lanjut, Lamhot menggambarkan postur anggaran pemerintah dalam menanggung subsidi BBM.
Menurutnya setiap kenaikan harga ICP 1 dollar Amerik Serikat (AS) per barrel berdampak pada kenaikan subsidi Liquefied Petroleum Gas (LPG) sekitar Rp 1,47 triliun.
Kenaikan harga ICP itu, juga berpengaruh terhadap subsidi minyak tanah sekitar Rp 49 miliar dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp 2,65 triliun.
“Saat ini asumsi harga minyak dunia sebesar 63 dollar AS per barrel berubah menjadi 100 dollar AS per barrel,” tutur Lamhot.
Sementara itu, lanjut dia, kebutuhan BBM Pertalite meningkat 6 juta kiloliter (kl) dari yang telah dibahas dan disepakati antara pemerintah dengan DPR, yakni 23 juta kl. Demikian juga solar sudah naik 2,5 juta kl dari APBN yang berjumlah 14,9 juta kl.
Baca juga: Stok Pertalite Kosong di Beberapa SPBU, Pertamina Sebut Ada Keterlambatan Pengiriman
“Kalau harga minyak di atas 100 dollar AS per barrel, kemudian dengan asumsi rupiah Rp 14.500 per dolar, kuota kami dari 23 juta kl menjadi 29 juta kl. Maka akan terjadi penambahan subsidi sampai Rp 600 triliun. Ini angka yang sangat besar,” ujar Lamhot.