KOMPAS.com - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) dari Partai Golkar Lamhot Sinaga mengatakan, produksi minyak bumi Indonesia dengan konsumsi memiliki gap yang semakin lebar.
Untuk itu, dia berharap, pemerintah memandang hal tersebut sebagai kondisi krisis dan perlu strategi yang sangat serius.
Politisi Partai Golkar itu menjelaskan, tingginya konsumsi yang tidak sebanding dengan jumlah produksi membuat pemerintah mengimpor minyak dari luar negeri.
“Sebagai negara importir, kita sangat rentan dalam pemenuhan kebutuhan dalam negeri serta dampak dari perubahan harga akibat berbagai eskalasi ketegangan di Timur Tengah dan wilayah lain,” ujarnya dalam siaran pers, Rabu (23/4/2024).
Lamhot menyampaikan, selama periode 1965-2003, produksi minyak bumi Indonesia lebih banyak ketimbang yang dikonsumsi.
Baca juga: Harga Minyak Dunia Melonjak 3 Persen, Imbas Serangan Balasan Israel ke Iran
Namun, sejak 2004, capaian produksi minyak sudah lebih rendah dari konsumsi, dengan kesenjangan yang kian melebar.
Dia menyebutkan, pemerintah elah berencana menaikkan produksi minyak nasional yang sudah dicanangkan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sebanyak 1 juta barel pada 2030.
Namun, saat ini dia belum melihat langkah-langkah besar yang dilakukan SKK Migas dan pemerintah.
“Sampai sekarang, belum ada upaya serius pemerintah untuk menaikkan produksi dan mengurangi impor,” katanya.
Untuk itu, Lamhot meminta pemerintah mengubah cara kerja dan strategi dalam memproduksi migas.
Baca juga: Pemerintah Pantau Harga Minyak untuk Kebijakan Subsidi Energi
“Jangan menganggap ini hanya bisnis yang biasa saja atau memandang aspek pemenuhan kebutuhan dalam negeri, tetapi tidak peduli sumbernya apakah impor atau produksi,” katanya.
Dia menyarankan pemerintah melakukan beberapa strategi dengan optimalisasi lapangan eksisting, transformasi produksi cadangan migas, reserve to production (RtoP), mendorong teknik enhanced oil recovery (EOR), dan melakukan eksplorasi secara masif untuk menemukan cadangan minyak besar yang baru.
Namun, legislator dari daerah pemilihan (dapil) Sumatera Utara II itu mengatakan, perlu upaya besar yang dilakukan dan bukan hanya pendekatan business as usual.
Lamhot juga menyoroti Kepala SKK Migas menurutnya bekerja dengan mengutamakan business as usual.
“Tidak ada juga upaya serius yang dilakukan untuk menaikkan produksi yang sesuai yang dia canangkan,” ungkapnya.
Baca juga: Skenario Konflik Iran dan Israel yang Bakal Pengaruhi Harga Minyak Dunia
Lamhot pun mengusulkan pemerintah untuk mengevaluasi Kepala SKK Migas dan mencari orang yang memiliki kompetensi dan kepedulian sesuai kebutuhan saat ini.
Lebih lanjut, Lamhot mengatakan, kebutuhan minyak domestik sebesar 1,44 juta barel per hari (bph), sedangkan produksi minyak nasional rata-rata hanya berkisar di level 600.000 bph.
Sementara itu, produksi minyak dalam negeri terpantau terus menurun. Saat ini, produksi minyak nasional sebanyak 593.442 bph.
Itu berarti, produksi itu lebih rendah dari data yang disebutkan sebelumnya per Agustus 2023 sebesar 597.000 bph.
Untuk memenuhi kekurangan tersebut, Indonesia selama ini mengimpor minyak dari berbagai negara dengan total 840.000 bph.
Impor minyak tersebut terdiri dari bahan bakar minyak (BBM) sebesar 600.000 bph dan minyak mentah sebesar 240.000 bph.
Baca juga: Rilis Laporan Pekerja hingga Harga Minyak Dunia Jadi Fokus Pasar, Wall Street Berakhir di Zona Merah
“Khusus pada Maret 2024, impor migas kita tercatat sebesar 3,33 miliar dollar Amerika Serikat (AS), atau naik 11,64 persen jika dibandingkan Februari 2024 yang sebesar 2,98 miliar dollar AS,” ungkapnya.
Lamhot menyebutkan, impor BBM mayoritas berasal dari Singapura, Malaysia, dan India.
Kemudian, untuk minyak mentah berasal dari Arab Saudi dan negara-negara Afrika, seperti Nigeria.