JAKARTA, KOMPAS.com - Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3 (tiga) di Pemilu Presiden (Pilpres) 2024, Mahfud MD, rela melepas gaji lebih besar setelah menjadi menteri demi mencegah konflik kepentingan sekaligus menjunjung etika.
“Sesudah jadi menteri, saya tidak mau bekerja lagi di luar. Itu bisa conflict of interest (konflik kepentingan)," kata Mahfud, Jumat (22/12/2023).
Konflik kepentingan adalah keadaan ketika seseorang tidak dapat mengambil keputusan dan tindakan obyektif karena kepentingan tertentu, baik kepentingan diri sendiri, keluarga, kerabat, atau pihak lain yang punya keterkaitan dengan dirinya.
Kepentingan itu dapat mencakup pula kenikmatan dan fasilitas yang didapat dari suatu keputusan yang dibuat karena jabatannya. Karenanya, kata Mahfud, konflik kepentingan merupakan salah satu isu mendasar di ranah etika.
Sebelum menjadi menteri, Mahfud mengaku pernah bekerja sebagai konsultan hukum untuk beragam perusahaan, selain mengajar di sejumlah kampus. Penghasilannya pun jauh di atas Rp 100 juta per bulan.
Baca juga: Mahfud MD: Ada Korupsi Rp 700 Triliun, Pertumbuhan dan Pemerataan Ekonomi Tidak Maksimal
Cerita soal gaji tinggi yang pernah diterima Mahfud mencuat lagi setelah laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) miliknya dibuka ke publik terkait pencalonan di Pilpres 2024.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) ini tercatat memiliki total harta senilai Rp 29,5 miliar, berdasarkan LHKPN 2022 yang diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bagi Mahfud, soal gaji menteri yang ternyata tak sebesar penghasilan sebelumnya ini adalah pengalaman tak terlupakan.
“Karena gaji (Menkopolhukam) lebih kecil dari pendapatan sebelum jadi menteri,” ujar Mahfud.
Namun, yang lebih penting, Mahfud menegaskan bahwa pilihan sikapnya ini juga merupakan salah satu upaya untuk konsisten menjunjung etika pejabat negara.
“(Tapi) sekarang di tengah masyarakat banyak pelanggaran etika, tidak merasa malu, tidak merasa takut,” ujar dia.
Baca juga: Singgung Etika Pejabat, Mahfud: Harusnya Begitu Tersangka, Mundur
Sebagai guru besar hukum tata negara, Mahfud berkeyakinan bahwa etika merupakan salah satu dasar terbentuknya hukum.
"Etika tidak bisa diabaikan apalagi dibuat bahan bercanda," tegas Mahfud.
Dalam sejumlah kesempatan, Mahfud kerap membahas masalah etika pejabat negara. Misal, saat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini memberikan orasi ilmiah di Universitas Bung Karno, Jakarta, pada Kamis (30/11/2023).
Lewat orasi itu, Mahfud mengingatkan para pejabat publik bahwa ada peraturan perundangan yang mengatur soal etika. Di antaranya, kata dia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor 6 Tahun 2001 dan Ketetapan MPR Nomor 8 Tahun 2001.
“Karena belum ada aturan yang lebih baru, itu semua masih berlaku,” tegas Mahfud.
Berdasarkan kedua ketetapan MPR tersebut, pejabat publik yang kebijakannya mendapat sorotan publik—bahkan ketika belum ada sama sekali proses hukum yang menjerat terkait kebijakan itu—diharuskan mengundurkan diri.
Baca juga: Singgung Etika Elite, Mahfud: Baru Keluar dari Penjara sebagai Koruptor, lalu Ajak Perangi Korupsi
“(Dari sudut pandang) etika, Anda belum bersalah pun sudah harus mundur karena menimbulkan keributan,” tegas Mahfud.
Mahfud juga berkeyakinan bahwa etika yang dijunjung tinggi bukan hanya penting, tetapi juga akan menjauhkan Indonesia dari praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan begitu, kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia pun lebih berpeluang untuk diwujudkan.