KOMPAS.com – Ketua Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) MH Said Abdullah menilai bahwa dugaan kasus tindakan pidana pencucian uang (TPPU) senilai Rp 349,87 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak memiliki konsolidasi data yang jelas.
Said memaparkan, terdapat perbedaan data dari klarifikasi yang disajikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kemenkeu, baik pada level pembagian nominal dari total transaksi senilai Rp 349 triliun maupun penamaan atau nomenklaturnya.
“Dari klarifikasi data itu, terlihat pihak Kemenkeu lebih merinci dari data ketimbang PPATK. Kenapa tidak konsolidasi data dulu?” ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (12/4/2023).
Oleh karenanya, Said meminta kedua belah pihak melakukan konsolidasi data lewat sejumlah klasifikasi atau tipologi kasus.
“Perbedaan klarifikasi, jumlah, dan nomenklatur ini menyulitkan terbentuknya data tunggal sebagai pegangan, baik untuk kepentingan internal pemerintah, apalagi untuk pihak lain, seperti DPR atau aparat penegak hukum,” jelasnya.
Baca juga: Anggota DPR: Image Rp 349 T Luar Biasa, Publik Berpikir Kemenkeu Sarang Money Laundry
Dia pun berharap, Komite TPPU membereskan konsolidasi data ke dalam terlebih dahulu secara rinci sehingga lahir satu kesepahaman antara seluruh anggota Komite TPPU dalam membagi dan merinci transaksi Rp 349 triliun.
“Kesepahaman ini sangat penting agar memudahkan para pihak melakukan langkah-langkah tindak lanjut. Kami tidak ingin oleh sebab tidak terbangunnya kesepahaman di internal Komite TPPU, isu transaksi Rp 349 triliun ini menjadi berlarut larut,” ujarnya.
Terlebih, kata Said, kasus tersebut berpotensi keluar dari konteks yang seharusnya dan berpotensi menjadi komoditas politik. Terlebih, saat ini Indonesia tengah memasuki tahun politik.
“Jika sudah masuk ke ranah politik, kasusnya sendiri berpotensi tidak terselesaikan dengan baik. Kami semua lebih sibuk berpolemik secara internal ketimbang mencari langkah langkah produktif untuk mencari penyelesaian demi penyelamatan keuangan dan pendapatan negara,” katanya.
Politisi dari Fraksi PDI-P itu berharap, pendekatan semua pihak dalam melihat persoalan tersebut tidak hanya memakai satu perspektif berdasarkan kewenangannya masing-masing.
Baca juga: DPR Minta Mahfud MD dan Sri Mulyani Samakan Cara Klasifikasi Transaksi Janggal Rp 349 Triliun
“Jika case building-nya tidak cukup didekati dengan pidana perpajakan, atau pelanggaran kepabeanan, sesungguhnya aparat penegak hukum (APH) lainnya bisa mendekatinya dengan pintu pidana lain, seperti korupsi, pencucian uang, dan lainnya,” sebutnya.
Said menjelaskan, untuk bisa melakukan orkestrasi seperti itu, Komite TPPU harus menyelesaikan masalah dasar terkait tafsir dan penyajian data sehingga ada data tunggal.
“Sedihnya, internal Komite TPPU masih belum bisa menyajikan data tunggal sebagai rujukan bersama. Kita berharap hal ini bisa diselesaikan sesegera mungkin,” harapnya.
Dengan adanya data tunggal, kata dia, pemaparan Komite TPPU ke DPR bisa lebih move on dan menentukan langkah-langkah progresif dengan dukungan politik dari DPR.
Untuk diketahui, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani telah memberikan penjelasan kepada Komisi III dan Komisi XI DPR terkait dugaan kasus pencucian uang senilai Rp 349,87 triliun, Selasa (11/4/2023).
Baca juga: Mahfud-Sri Mulyani Kini Kompak soal Transaksi Rp 349 Triliun, Satgas Akan Dibentuk
Dalam penjelasannya, Sri Mulyani mengatakan, ada 300 surat yang dikirimkan PPATK ke Kemenkeu dan APH dalam rentang 2009-2023 dengan nilai transaksi sebesar Rp 349,87 triliun.
Dari 300 surat tersebut, sebanyak 200 surat dikirimkan PPAT ke Kemenkeu yang memuat transaksi keuangan senilai Rp 275,6 triliun dan sebanyak 100 surat ke APH dengan nilai transaksi sebesar Rp 74,2 triliun.
Said menilai ada gap pembagian antara PPATK dan Kemenkeu dalam membagi postur transaksi Rp 349 triliun.
PPAT membagi transaksi Rp 349 triliun dalam tiga kelompok besar. Pertama, transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu sebesar Rp 35,5 triliun.
Kedua, transaksi sebesar Rp 53,8 triliun transaksi keuangan yang melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain. Ketiga, transaksi sebesar Rp 260,5 triliun transaksi mencurigakan terkait kewenangan.
Baca juga: Pemerintah Terus Buru Para Pihak Terlibat Transaksi Janggal di Kemenkeu
Berbeda dengan PPATK, Kemenkeu membagi transaksi Rp 349 triliun dalam tiga bagian. Pertama, transaksi sebesar Rp 35,1 triliun terdiri dari transaksi debit kredit pegawai Kemenkeu senilai Rp 3,3 triliun, transaksi debit kredit Rp 18,7 triliun dari pribadi dan korporasi yang tidak berkaitan dengan pegawai, dan transaksi senilai Rp 13 triliun yang dikirimkan ke APH.
Kedua, transaksi sebesar Rp 47 triliun berkaitan transaksi yang melibatkan pegawai Kemenkeu dengan pihak lain.
Ketiga, transaksi senilai Rp 267,7 triliun berupa surat-surat yang dikirimkan Kemenkeu ke perusahaan dengan nilai transaksi sebesar Rp 253,5 triliun serta surat-surat yang dikirimkan APH ke perusahaan dengan nilai transaksi sebesar Rp 14,1 triliun.
Sri Mulyani juga menjelaskan, transaksi senilai Rp 3,3 triliun yang melibatkan pegawai Kemenkeu dalam rentang tahun 2009-2023.
Selain itu, lanjut dia, terdapat transaksi senilai Rp 253,5 triliun atas surat-surat yang telah dikirimkan Kemenkeu ke perusahaan. Kemenkeu saat ini telah melakukan sejumlah tindakan penegakan hukum dan disiplin untuk para pegawainya.
"Sebanyak 348 pegawai dihukum sesuai dengan tingkat kesalahannya masing-masing terkait transaksi senilai Rp 3,3 triliun. Kemudian, sebanyak 24 pegawai dijatuhi hukuman terkait transaksi senilai Rp 253,5 triliun," tutur Sri Mulyani saat rapat dengan Komisi III dan Komisi XI DPR.