KOMPAS.com – Sejak 2013 hingga 2024, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di kisaran 5 persen.
Data terbaru BPS mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,03 persen sepanjang 2024. Angka ini masih jauh dari ambisi untuk membawa Indonesia menjadi negara berpenghasilan tinggi pada 2045.
Presiden Republik Indonesia (RI) Prabowo Subianto pun menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional dapat mencapai 8 persen selama masa pemerintahannya.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Said Abdullah meyakini bahwa target tersebut sangat mungkin tercapai, asalkan pemerintah mampu melakukan perbaikan di sektor-sektor strategis.
Baca juga: 15 Daerah di Jawa Tengah Terdampak Banjir, Perbaikan Jalan Terkendala Anggaran
Menurutnya, agenda pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus dirancang agar seluruh rakyat dapat merasakan manfaatnya.
“Tidak boleh ada yang tertinggal dalam pembangunan. Oleh karena itu, kita memiliki dua pekerjaan rumah besar, yaitu keluar dari jebakan pertumbuhan 5 persen dan mengoreksi model pertumbuhan ekonomi yang selama ini lebih berpihak pada kelompok atas,” ujar Said dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (6/2/2025).
Ia mengungkapkan bahwa selama ini, Indonesia menerapkan model kebijakan trickle down effect yang diperkenalkan oleh Albert Hirschman dan diterapkan oleh Presiden Ronald Reagan di Amerika Serikat (AS).
Baca juga: Amerika Serikat Keluar dari WHO, Apa Artinya?
Model tersebut berasumsi bahwa memberikan insentif kepada kelompok ekonomi atas akan membuka lebih banyak lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih luas.
“Namun, kenyataannya, laju pertumbuhan ekonomi bagi kelompok atas jauh lebih besar dibandingkan kelompok menengah ke bawah. Akibatnya, hanya sedikit manfaat yang “merembes” ke masyarakat bawah,” imbuh Said.
Ia menjelaskan bahwa data rasio gini yang mengukur tingkat ketimpangan pendapatan mengonfirmasi hal tersebut.
Pada akhir orde baru, sebut Said, rasio gini Indonesia mencapai 0,33, dan terus meningkat hingga 0,437 pada 2013. Dalam sepuluh tahun terakhir, rasio gini tetap tinggi di kisaran 0,38 hingga 0,40.
Baca juga: Kemiskinan Turun tapi Ketimpangan Meningkat, Airlangga: Kelas Menengah Kita Dorong
“Analisis ekonom Thomas Piketty juga menunjukkan bahwa ketimpangan terjadi ketika kekayaan pribadi tumbuh lebih cepat dibandingkan pendapatan nasional,” ucapnya.
Data dari Credit Suisse pada 2022 mencatat bahwa 66,8 persen penduduk Indonesia dewasa memiliki kekayaan di bawah 10.000 dollar AS, sementara hanya 2 persen yang memiliki kekayaan antara 100.000 hingga 1 juta dollar AS, dan 0,1 persen memiliki lebih dari 1 juta dollar AS.
Rasio gini kekayaan Indonesia pun mencapai 0,78, menunjukkan ketimpangan yang semakin dalam.
Baca juga: Raffi Ahmad, Utusan Khusus Presiden Bergaji Rp 18 Juta dengan Kekayaan Mencapai Rp 1 Triliun
Said mengapresiasi berbagai kebijakan Presiden Prabowo yang berupaya mengonsolidasikan sumber daya pembangunan agar pertumbuhan ekonomi dapat melampaui target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( APBN) 2025 sebesar 5,2 persen.
Salah satu langkah yang diambil adalah efisiensi belanja negara untuk memastikan anggaran dialokasikan pada program-program strategis seperti perbaikan gizi anak, kesehatan, pendidikan, kemandirian pangan, dan energi.
“Jika program gizi dan pendidikan dapat diperkuat secara sistematis, kita bisa memenuhi permintaan tenaga kerja sehat dan terdidik di pasar tenaga kerja. Ini bukan program jangka pendek, tetapi investasi jangka panjang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan,” kata Said.
Baca juga: Ini Jurus Pemerintah Genjot Ekonomi 2025 agar Capai Target
Salah satu program yang disorot adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG). Said menyarankan agar program ini lebih inklusif dengan melibatkan pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) di berbagai wilayah sebagai pemasok makanan bergizi.
Dengan standar kualitas yang ditetapkan, UMK dapat menjadi bagian dari rantai pasok MBG, yang akan mendorong kebangkitan sektor usaha kecil yang selama ini mengalami tekanan akibat pandemi Covid-19.
“Lebih dari 65 juta UMK bisa terdorong dengan kebijakan ini, sehingga daya beli masyarakat menengah bawah ikut meningkat,” ujar Said.
Baca juga: Soal Pemangkasan Anggaran, Tim Ekonomi Prabowo: Untuk MBG Perlu Dana Besar...
Di sektor hulu, lanjut dia, MBG juga dapat meningkatkan permintaan bahan pangan, sehingga Badan Pangan Nasional (Bapanas) perlu bersinergi dengan pemerintah daerah dan desa untuk menata rantai pasok yang lebih efisien.
“Jika dijalankan dengan baik, program ini tidak hanya memperkuat kemandirian pangan nasional tetapi juga mengurangi ketergantungan pada subsidi bantuan sosial yang selama ini menghabiskan anggaran besar tanpa dampak pemberdayaan yang nyata,” tuturnya.
Selain mengoptimalkan APBN, Presiden Prabowo juga mendorong konsolidasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui pembentukan super holding Danantara.
Baca juga: UU BUMN Diharapkan Dorong Tata Kelola Lebih Profesional dan Berdaya Saing
Dengan capital expenditure (capex) yang besar, Danantara diharapkan dapat mengelola investasi strategis yang akan mempercepat industrialisasi nasional.
:Dua aspek kunci dari Danantara adalah investasi dan industrialisasi yang terarah. Inisiatif ini berpotensi menjadi landasan utama dalam memperluas program hilirisasi yang dikendalikan langsung oleh BUMN,” ucap Said.
Namun, lanjut dia, fokus utama harus tetap pada optimalisasi pengelolaan sumber daya alam (SDA) agar dapat diolah menjadi produk industri yang masuk dalam rantai pasok global.
Baca juga: Wamen UMKM: Partisipasi UMKM dalam Rantai Pasok Global Rendah
“Saya meyakini bahwa jika dua pilar utama, APBN dan BUMN dapat dikelola secara terstruktur dan efisien, maka Indonesia tidak hanya mampu keluar dari stagnasi pertumbuhan ekonomi di angka 5 persen, tetapi juga mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif,” imbuh Said.
Dengan melibatkan pelaku ekonomi dari lapisan bawah hingga menengah, menurutnya, pertumbuhan ekonomi nasional akan semakin berkelanjutan dan merata.