KOMPAS.com - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah menanggapi kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengenakan tarif sebesar 32 persen atas barang-barang Indonesia yang masuk ke AS.
Said mengatakan, kebijakan tersebut berbahaya bagi masa depan perekonomian global karena akan memicu negara lain menempuh jalan proteksionisme, yang tidak menguntungkan bagi kerja sama global untuk kemakmuran bersama.
“Saya membaca di berbagai media massa, Presiden Trump mengirim surat kepada Presiden Prabowo, menanggapi upaya lobi Pemerintah Indonesia atas pengenaan tarif perdagangan ini. Terbaru, pada 7 Juli 2025, Presiden Trump menetapkan tarif 32 persen untuk Indonesia, sama seperti yang sudah berlaku sejak April 2025,” kata Said dalam keterangan tertulis, Rabu (9/7/2025).
Sebagai perbandingan, negara tetangga seperti Malaysia, Jepang, dan Korea Selatan dikenakan tarif lebih rendah sebesar 24 persen, sementara Thailand dikenakan tarif lebih tinggi sebesar 36 persen. Tarif untuk Indonesia akan mulai berlaku pada 1 Agustus 2025, atau kurang dari satu bulan lagi.
Presiden Trump beralasan, tidak adanya perusahaan Indonesia yang melakukan aktivitas manufaktur di AS menjadi salah satu penyebab pengenaan tarif tersebut. Meski demikian, AS masih memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk melakukan negosiasi kembali sebelum tenggat waktu diberlakukan.
Baca juga: Tom Lembong Sebut 8 Fraksi DPR Tak Setuju Pendekatan Jaksa di Kasus Impor Gula
Menanggapi kondisi tersebut, Said menyarankan pemerintah Indonesia menempuh lima langkah kebijakan sebagai berikut:
1. Melanjutkan negosiasi dengan AS
Said menyampaikan bahwa pemerintah memiliki waktu yang sangat terbatas untuk merespons kebijakan tarif tersebut.
"Dalam waktu yang tersisa, pemerintah tidak memiliki pilihan selain terus menempuh jalur negosiasi dengan Pemerintah AS. Namun, negosiasi kali ini harus membawa tawaran yang lebih menjanjikan, seperti membuka peluang perusahaan Indonesia melakukan aktivitas manufaktur di AS dan menurunkan defisit perdagangan AS dengan Indonesia," katanya.
Ia menambahkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca dagang Indonesia dengan AS saat ini mencatat surplus 6,42 miliar dollar AS atau sekitar Rp 104,9 triliun.
2. Menyiapkan pasar pengganti
Said juga menekankan bahwa AS adalah negara dengan penduduk besar dan daya beli tinggi, sehingga menjadi pasar yang menjanjikan bagi produk ekspor Indonesia.
"Produk-produk Indonesia seperti tekstil, pakaian jadi, alas kaki, peralatan listrik, karet dan produk karet, alat penerangan, ikan, udang, kakao, dan mesin banyak diminati pasar AS. Namun, jika tarif 32 persen tetap diberlakukan, pemerintah harus segera mencari pasar pengganti untuk produk-produk yang tidak lagi layak secara harga," ujarnya.
Menurut Said, pemerintah perlu mendalami potensi pasar alternatif seperti BRICS, Eropa, Amerika Latin, dan Afrika untuk menjaga kinerja ekspor nasional.
Baca juga: Begini Peta Jalan Kopdes Merah Putih 2025-2029, Bakal Bidik Pasar Ekspor
3. Mendorong penyelesaian multilateral
Di sisi lain, Said mendorong pemerintah untuk memperkuat penyelesaian melalui jalur multilateral.
"Pemerintah juga harus mengupayakan penyelesaian multilateral, mengingat banyak negara saat ini juga terkena sanksi tarif perdagangan dari AS. Mereka memiliki kegelisahan yang sama, bahkan negara-negara sekutu AS di Eropa Barat ikut terdampak," kata Said.
Ia menilai pemerintah dapat menggalang negara-negara tersebut untuk memperkuat peran World Trade Organization (WTO) sebagai lembaga sah dan adil dalam menyelesaikan sengketa perdagangan internasional.
4. Membentuk komitmen kerja sama perdagangan internasional
Selain itu, Said menilai melalui perundingan multilateral, terutama di WTO atau forum seperti G20 minus AS, pemerintah dapat membentuk komitmen kerja sama perdagangan internasional untuk membuka pasar baru bagi produk-produk yang terhambat akibat tarif tinggi.
"Dengan adanya kerja sama ini, negara-negara tidak perlu khawatir karena produk mereka tetap mendapatkan pasar pengganti," tambahnya.
Baca juga: Sinergi ICDX-IDH dan 3 Regulator, Dorong Pendalaman Pasar Keuangan RI
5. Menggalang dukungan internasional lebih luas
Said juga menekankan pentingnya menggalang dukungan internasional yang lebih luas karena kebijakan Presiden Trump telah mengabaikan banyak pranata internasional.
"Dalam perdagangan, AS mengabaikan peran WTO, IMF, dan Bank Dunia, sedangkan di bidang politik dan militer mereka mengabaikan penyelesaian multilateral. Sudah saatnya pemerintah memelopori penyelesaian multilateral, khususnya dalam bidang perdagangan, moneter, dan keamanan," tegasnya.
6. Memperkuat ketahanan dalam negeri
Terakhir, Said menekankan perlunya penguatan ketahanan dalam negeri.
"Kita harus memperkuat ketahanan dalam negeri, terutama pada sektor pangan, energi, dan moneter yang masih sangat bergantung pada aktivitas impor dan terpengaruh kondisi eksternal," tutur Said.
Ia menambahkan, pemerintah perlu mempercepat program ketahanan pangan dan energi serta memperluas penggunaan skema pembayaran internasional yang tidak hanya bergantung pada dollar AS.