KOMPAS.com - Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Said Abdullah menyoroti semakin melemahnya fungsi lembaga-lembaga internasional, seperti World Trade Organization ( WTO), International Monetary Fund ( IMF), dan Bank Dunia.
Menurutnya, lembaga-lembaga tersebut harus dikembalikan pada fungsi awalnya sebagai penjamin tata ekonomi dan perdagangan global yang adil.
Said mengatakan itu merespons tindakan Amerika Serikat (AS) yang kalah bersaing dengan China dalam produksi manufaktur dan mengalami defisit neraca perdagangan, sehingga menerapkan tarif kepada banyak negara.
Ketua Badan Anggaran DPR RI itu menyayangkan tidak ada satu pun negara yang membawa tindakan AS ke sidang WTO, tetapi justru memilih berunding dengan AS dengan posisi tawar yang lemah.
“Kalau memang dunia sudah tidak memerlukan keberadaan lembaga-lembaga internasional tersebut, lebih baik dibubarkan saja. Buat apa kita iuran untuk WTO, IMF, dan Bank Dunia kalau kenyataannya malfunction,” kata Said dalam keterangan tertulis, Rabu (17/7/2025).
Baca juga: RI-AS Bakal Segera Ditandatangani Dokumen Perjanjian Tarif Resiprokal, Ini Poin Kesepakatannya
Adapun dinamika perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China telah berlangsung sejak 2018 hingga kini. Eskalasi perang tarif tersebut meluas ke banyak negara, terutama sejak penerapan tarif resiprokal oleh Presiden Donald Trump.
Said memaparkan, sejak era General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada 1930-an yang kemudian berkembang menjadi WTO pada 1995, negara-negara maju mendorong prinsip perdagangan bebas.
“Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, khawatir era perdagangan bebas akan melibas barang-barang mereka yang belum dianggap kompetitif dan menguasai pasar domestik,” katanya.
Terbukti, lanjut Said, pada awal kepesertaan di WTO, negara-negara berkembang, seperti Indonesia “babak belur” layaknya pertarungan Daud dan Goliat di gelanggang perdagangan bebas karena ketimpangan kualitas produk, harga, dan kapasitas produksi.
Baca juga: Kesepakatan Tarif Impor: Data Pribadi Warga Indonesia Bakal Dikelola AS?
Namun, ketika negara-negara berkembang mulai mampu bersaing, negara maju, terutama AS, justru kembali menerapkan proteksionisme.
Menurut Said, hanya China yang hingga kini konsisten meladeni AS di arena perang tarif.
Ia mencontohkan, dominasi China dalam perdagangan global yang telah melampaui AS. Pada 2024, nilai perdagangan global China mencapai 6.164 miliar dollar AS, sedangkan AS sebesar 5.424 miliar dollar AS.
Lebih lanjut, Said menilai keberadaan WTO perlu dikaji ulang. Setelah negara berkembang “dipaksa” bergabung meski belum siap, WTO kini tidak hadir saat dibutuhkan.
Baca juga: Trump Rilis Detail Kesepakatan Tarif AS-Indonesia, Salah Satunya soal Bebas TKDN
Dia mengakui, dalam perjalanannya, sejumlah negara berkembang, seperti Vietnam, Thailand, dan Indonesia mampu tumbuh dan bersaing. Bahkan, keberadaan WTO mendorong transformasi struktural di negara-negara tersebut.
Hingga kini, WTO telah menangani 631 kasus sengketa perdagangan internasional, dengan 503 kasus di antaranya masuk ke tahap banding.
Namun, Said menilai WTO kini mengalami krisis legitimasi karena diam terhadap pelanggaran yang dilakukan negara besar.
“Kenapa WTO diam? Diamnya WTO makin menegaskan bahwa kelembagaan ini hanya diperlukan bila sejalan dengan kepentingan negara-negara maju, seperti AS,” ujarnya.
Padahal, kata Said, “rukun iman” perdagangan bebas adalah perdagangan tanpa hambatan tarif dan AS telah melanggarnya, bahkan menutup diri.
Baca juga: Cerita Anak Buah Airlangga Nego Tarif Trump dari 32 Persen Jadi 19 Persen
Said menambahkan, tantangan global saat ini membutuhkan solusi multilateral, bukan pendekatan sepihak.
Oleh karena itu, dia mengajak para pemimpin dunia untuk kembali memperkuat komitmen internasional dan mendorong reformasi terhadap WTO, IMF, dan Bank Dunia.
“Saatnya kita menghimpun kembali komitmen internasional, memperkuat lembaga-lembaga ini sebagaimana fungsinya. Agar tidak ada lagi satu atau dua negara yang dengan bebas berlaku sewenang-wenang,” ujar Said.
Jika reformasi tidak dilakukan, kata Said, negara-negara akan cenderung memilih menyelesaikan urusan ekonomi dan keuangan secara bilateral atau regional, atau mencari forum lain seperti G20, BRICS, dan ASEAN.
Namun, Said menegaskan, jika lembaga-lembaga internasional tersebut masih dianggap penting, maka perlu ada pembenahan menyeluruh.
Baca juga: Tarif 32 Persen Trump Ancam Ekspor RI, Said Abdullah Usulkan 5 Solusi
“Kalau kita masih melihat secercah harapan, mari kita bergandengan lebih erat, membulatkan tekad, dan menyempurnakan kembali WTO, IMF, dan Bank Dunia sebagai jalur penyelesaian internasional yang lebih adil,” ucapnya.