KOMPAS.com - Mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri periode 1999–2000, Kwik Kian Gie, meninggal dunia pada usia 90 tahun, Senin (28/7/2025) malam.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDI-P) Said Abdullah turut menyampaikan belasungkawa atas wafatnya ekonom sekaligus politisi senior tersebut.
“Kami kehilangan ekonom gigih, guru bangsa yang terus menyuarakan idealisme hingga akhir hayat,” katanya dalam siaran pers, Selasa (19/7/2025).
Said menegaskan, Kwik merupakan sosok yang meneruskan pemikiran Bung Karno dan Bung Hatta tentang kemandirian ekonomi bangsa.
“Tidak sejengkal pun kami ragu atas nasionalismenya Pak Kwik. Beliau selalu memberi perhatian besar tentang bagaimana sumber daya alam dikelola, dan bagaimana cara mengelolanya,” ujarnya.
Baca juga: PDIP dan Mahfud Kenang Kwik Kian Gie, Sosok Pemberani yang Kritik Orde Baru
Said mengenang pertemuan pertamanya dengan Kwik pada 1988 dalam rapat koordinasi di Kantor DPD PDI Jawa Timur, yang saat itu dipimpin Marsusi.
Said saat itu menjabat Sekretaris PDI Kabupaten Sumenep, sementara Kwik hadir sebagai pembicara utama dan Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat (Balitbangpus) DPP PDI.
Dalam rapat tersebut, kata Said, Kwik dengan lugas mengulas persoalan-persoalan ekonomi bangsa.
“Ekonomi kita semuanya impor. Kita cuma menjadi bangsa perakit cetusnya lantang. Pikiran pikiran Pak Kwik selalu bernas dan kritis, terutama soal ekonomi dan politik,” katanya.
Said menyebut, baik saat berada di dalam maupun di luar pemerintahan, sikap politik dan kepribadian Kwik Kian Gie tetap konsisten.
Baca juga: Kwik Kian Gie Meninggal Dunia, Sosok Menteri Era Gus Dur dan Megawati
“Idealisme menjadi rel penyangga sekaligus ‘hakim’ untuk menentukan langkah langkahnya. Kecintaannya terhadap republik ini tidak surut dibarter oleh apa pun,” sebutnya.
Said juga mengenang peran Kwik saat krisis moneter 1997/1998. Kala itu, Kwik tampil sebagai salah satu tokoh yang paling vokal menyoroti skema penyelesaian utang obligor yang diajukan International Monetary Fund (IMF).
Ia menjelaskan, IMF dan sejumlah menteri di kabinet saat itu menyetujui skema pengambilalihan aset milik obligor sebagai kompensasi atas utang mereka di bank-bank yang telah diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
“Pak Kwik menilai, sejumlah aset perusahaan yang disita BPPN jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah utang. Sebab, asetnya jauh lebih kecil dibandingkan kewajibannya. Pak Kwik kalah dalam keputusan ini, tetapi beliau tetap berdiri dengan kepala tegak,” kata Said.
Dalam cerita lain pada 2004, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI memerintahkan Kwik Kian Gie selaku Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk mengambil langkah strategis.
Kwik diminta untuk mengambil alih pengelolaan Blok Migas Cepu dari Exxon Mobil (EM) yang saat itu berstatus sebagai mitra dalam skema Technical Assistance Contract (TAC) dan kontraknya akan berakhir pada 2005.
Baca juga: Latar Belakang Pendidikan Kwik Kian Gie, Ekonom Ternama yang Telah Berpulang
Kemudian, Kwik bersama Pertamina menyusun konsep kontrak kerja sama operasi yang menempatkan EM sebagai pihak subordinat dari Pertamina.
“Desain ini sangat memberi nilai ekonomi yang besar bagi bangsa, tetapi belum terimplementasi hingga masa pemerintahan Ibu Mega berakhir,” terang Said.
Sebagai sosok yang pernah menjadi bagian penting di PDI-P, Said menyampaikan bahwa keluarga besar PDI-P merasa kehilangan atas kepergian Kwik Kian Gie.
“Semoga Tuhan Yang Maha Esa menempatkan Pak Kwik ke tempat yang terhormat. Lantunan doa senantiasa kami panjatkan mengiringi ruhmu di alam keabadian,” ungkapnya.
Baca juga: Sosok Kwik Kian Gie di Mata Sahabat, Guru Bangsa dan Suri Teladan