KOMPAS.com - Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah menanggapi fenomena seruan hingga petisi dari berbagai dosen dan guru besar puluhan universitas dalam beberapa waktu terakhir.
Dia mengatakan, fenomena tersebut tidak terlepas dari pertarungan politik aliran kiri dan kanan yang kerap berseteru, dalam kontek hari ini adalah pemilihan umum (pemilu).
Fahri menyebutkan, kampus tidak lagi bergerak atau benar-benar digerakkan mahasiswa.
Menurutnya, mahasiswa sekarang digerakkan sisa-sisa pergerakan yang dulu terjadi di tingkat dosen dan guru besar yang masih terjangkiti politik aliran.
“Mereka sebetulnya korban dari politik di zaman Orde Lama dan Orde Baru yang tidak bisa lagi menularkan ideologinya kepada mahasiswa,” katanya melansir partaigelora.id, Selasa (6/1/2024).
Dia menilai, para dosen dan guru besar berharap mahasiswa bisa tetap bergerak sehingga bisa tampil lebih elegan. Namun, harapan ini salah dan salah dalam membaca dunia yang terus berubah.
Fahri menjelaskan, mahasiswa sekarang terlihat lebih netral, seperti tidak lagi terbawa pakem politik aliran kiri atau kanan.
Menurutnya, para mahasiswa sekarang melihat kenyataan dari kacamata yang lebih besar sehingga provokasi terhadap mahasiswa di kampus relatif gagal.
“Mungkin inilah yang menjelaskan kenapa gerakan mahasiswa tidak tampak memberikan respons yang kuat terhadap provokasi dan kampanye negatif kepada pemerintah,” ujarnya.
Deklarator dan Ketua Umum KAMMI 1998 itu menilai, kampus yang mulai normal karena tumbuh kelompok-kelompok mahasiswa moderat tak lagi bisa diandalkan sebagai kaki tangan pergerakan elit kampus.
“Oleh sebab itu, mereka terjun sendiri atas nama universitas. Padahal, sesungguhnya mereka adalah pendukung pasangan calon tertentu yang ditinggalkan Presiden Joko Widodo (Jokowi),” katanya
Fahri menyebutkan, Jokowi kini bergerak ke tengah dan bergabung dalam koalisi rekonsiliasi yang secara sadar dilakukan bersama Prabowo Subianto, calon presiden nomor urut 2.
“Kita semua berharap bahwa ini akan benar-benar berakhir, polarisasi politik aliran yang sudah usang sebagai ideologi yang tidak sehat bagi bangsa kita,” ujarnya.
Dia mengatakan, pihaknya mulai mendesain satu sistem politik baru yang lebih ramah terhadap gagasan dan ideologi Negara Indonesia Pancasila untuk kemajuan bangsa sendiri.
“Kepada Pak Prabowo nanti kami titipkan agenda persatuan agar politik aliran yang buta dan tidak sehat ini, kita akhiri,” katanya.
Baca juga: Noda Pemilu 2024, Pelanggaran Etik Ketua MK-KPU dan Peringatan Para Guru Besar untuk Pemerintah
Untuk diketahui, beberapa hari belakang puluhan universitas diwakili guru besar dan dosen menggelar kritik terbuka kepada pemerintah dan elite politik serta desakan untuk menegakkan demokrasi.
Lebih lanjut, Fahri mengatakan, kampus dikangkangi kegiatan dan kebebasan yang dipengaruhi ideologi kiri liberal atau disimbolkan dengan warna merah.
“Inilah yang kita rasakan lebih kurang delapan tahun belakangan sampai mereka meninggalkan Jokowi yang tidak mereka duga, justru bergerak ke tengah,” katanya.
Dia menilai, kampus begitu ditekan dan terkekang saat di bawah pengaruh ide kiri merah.
“Saya pernah menjadi korban karena tidak boleh berceramah di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) hanya karena pada waktu itu saya bukan pendukung pemerintah,” katanya.
Padahal, saat itu dia adalah Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat yang justru menangani sektor pendidikan.
“Bukannya disambut secara baik UGM, saya malah ditolak begitu saja tanpa seorang pun pembela,” ujarnya.
Fahri mengatakan, tidak ada lagi para mahasiswa kritis yang keluar dari kampus-kampus besar. Kebebasan kampus dimatikan dan tidak ada lagi cerita kritis kepada pemerintah.
Dia menyebutkan, ada banyak orang-orang yang pintar dan potensial disingkirkan dari tugas-tugas penting karena alasan doktrin bahwa kampus telah disusupi kaum radikal kanan.
“Para dosen begitu tertekan dan memilih diam seribu bahasa. Inilah pesta pora besar kaum kiri dan merah ekstrem, yang menjadikan kampus-kampus, serta semua lembaga pendidikan mengontrol negara atas kebebasan,” katanya.
Baca juga: Survei SPIN: Elektablitas Partai Gelora Sentuh 3,6 Persen, Diprediksi Lewati Ambang Batas Parlemen
Bahkan, mereka juga berhasil mengubah lembaga penelitian yang begitu banyak sehingga terpusat dalam satu induk organisasi kemudian mengontrol ideologi negara serta merencanakan lahirnya undag-undang (UU) yang disebut sebagai Haluan Ideologi Pancasila (HIP).
Fahri menilai, semua hal itu tidak lain adalah kerja untuk mengekang kebebasan dan keberagaman yang sudah berkembang dalam tradisi berdemokrasi, terutama pascakeruntuhan Orde Baru pada 1998.
“Sekali lagi, pesta kaum kiri merah ini hampir tuntas sampai kemudian kita kembali ke tengah. Kaum kiri merah menjadikan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam politik Indonesia yang banyak diwarnai kaum kanan untuk distorsi atau bahkan dihapus,” katanya.
Dia mengatakan, para kaum kiri menganggap hal tersebut sebagai membahayakan ideologi negara. Oleh sebab itu, mereka bergerak cepat dengan alasan “menyelamatkan ideologi negara”.
Baca juga: Fahri Hamzah Sebut Program Makan Gratis Prabowo-Gibran Jadi Solusi Strategis Atasi Penyebab Stunting
“Mereka melakukan pengecekkan terhadap kebebasan, terutama di kampus dan lembaga pendidikan serta penelitian,” ujarnya.
Fahri menyebutkan, dengan menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), para kaum kiri melakukan kegiatan melawan kebebasan.
“Media, termasuk menjadi objek dari serangan mereka dan ketika negara secara langsung atau tidak langsung melakukan eksekusi kepada banyak ulama dan aktivis Islam. Para guru besar ini dapat diduga ikut terlibat secara langsung atau tidak langsung, melalui keahliannya,” katnaya.
Fahri juga menjelaskan sejarah politik aliran yang kemudian sering disebut sebagai kaum kiri dan kanan, terutama dalam pembentukannya di lingkungan kampus.
Dia menyebutkan, semua mahasiswa yang dianggap punya kecenderungan untuk berpikir liberal dan terlihat berani, seperti membangun narasi perlawanan, termasuk terhadap kaum kanan, disebut sebagai kaum kiri atau kelompok kiri.
Baca juga: Soal Cuitan Capres Jadi Tersangka, Fahri Hamzah Sebut Kartunya Masih Banyak
“Setelah keluar dari kampus dan banyak membaca sejarah, saya jadi tahu bahwa politik mahasiswa di dalam kampus hanyalah turunan dari politik aliran yang ada di luar kampus,” katanya.
Sebaliknya, kaum kanan adalah mahasiswa yang tumbuh di lingkungan mushola dengan mengikuti berbagai kajian agama, termasuk berdiskusi di luar isu-isu kampus.
Mereka yang berada di kanan, langsung maupun tidak, anak cucu dari politik Masyumi pada masa lalu.
Sementara itu, mereka yang berada di kiri adalah anak cucu dari politik Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan sebagian Partai Nasionalis Indonesia (PNI).
“Sebagaimana kaum kanan, kaum kiri pun terbagi dalam berbagai spektrum yang menggambarkan tingkat kekentalan ideologinya. Yang paling kiri dari kaum kiri adalah yang mengambil gagasan yang sangat radikal seperti antiagama,” katanya.
Baca juga: Cerita Fahri Hamzah, Detik-Detik Jokowi dan Prabowo Bersatu
Sementara itu, kelompok paling kanan dari kaum kanan adalah mereka yang berjalan dengan ideologi agama yang sangat kental dan puritan.
“Mereka bermimpi atau bercita-cita menegakkan sistem Islam (anak Tarbiyah dan HTI) dan berikhtiar untuk menjalankan perintah agama pada level pribadi secara menyeluruh alias kaffah,” ujarnya.
Fahri mengatakan, dalam sistem represif Orde Baru pada waktu itu, semua kecurigaan negara pada penampilan mahasiswa di dalam kampus ditumpahkan kepada Pembantu Dekan III dan Pembantu Rektor III yang mengurusi kemahasiswaan.
Namun, dia mempunyai kegemaran berbicara dengan para dosen sehingga justru bisa berteman alih-alih menjadi lawan.
“Kegemaran saya berdialog tidak saja lintas usia, tetapi juga lintas pergerakan. Ini membuat saya bisa membaca seluruh peta di dalam kampus,” ungkapnya.
Baca juga: Fahri Hamzah: Pilpres Satu Putaran Solusi Hadapi Geopolitik Tak Stabil
Fahri mengaku, saya sebagai kader kaum kanan, dia terus berdialog dengan seluruh spektrum kaum kanan yang ada. Akibat dialog yang intensif dan panjang, akhirnya dia mulai bergerak ke tengah.
Ketua Forum Studi Islam FEUI 1994-1995 itu menilai, provokasi terhadap mahasiswa di kampus hari ini relatif gagal mengonsolidasikan hubungan tradisional mahasiswa dengan politik aliran seperti dulu.
Selain itu, kata dia, pada dasarnya partai politik juga tumbuh tanpa ideologi yang jelas atau tanpa warna.
“Tidak terlalu jelas apa beda antara satu partai (kelompok) dengan partai (kelompok) lain. Ide-ide besar tidak lagi didiskusikan sehingga mempersulit mereka masuk untuk menggalang kelompok mahasiswa sekarang,” katanya.
Baca juga: Fahri Hamzah Anggap Jokowi Tak Pernah Berubah, Singgung Ada Pihak yang Marah